GELORA.CO - SIKAP pemerintah yang tak menjadikan bencana di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) sebagai Bencana Nasional mulai memunculkan masalah.
Sebanyak 500 ton bantuan logistik dari komunitas Aceh di Malaysia yang siap dikirimkan melalui kapal laut swasta belum dapat terlaksana.
Padahal, mengutip Rakyat Aceh kemarin (11/12), bantuan itu sudah siap dilayarkan dari Port Klang, Malaysia, ke Krueng Geukeuh, Aceh. Namun, proses pengiriman terhambat karena belum diberlakukannya status Bencana Nasional.
Hal ini terungkap setelah Persatuan Masyarakat Aceh di Malaysia (PERMEBAM) melakukan pertemuan dengan perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia.
Pertemuan tersebut dihadiri Presiden PERMEBAM Datuk Mansyur Usman dan Wakil Duta Besar Indonesia Danang Waskito.
“Beberapa faktor internal antara kedua negara menjadi penghalang, terutama karena status bencana di Aceh saat ini belum ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Status ini penting karena tanpanya, proses pengiriman menjadi sulit,” kata Datuk Mansyur Usman lewat siaran pers yang diterima Rakyat Aceh kemarin.
Datuk Mansyur melanjutkan, untuk memperlancar langkah, pihaknya mengirimkan surat langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
“PERMEBAM mengajak seluruh masyarakat untuk terus menunggu dan berdoa agar Presiden Prabowo dapat mempertimbangkan untuk mengubah status bencana di Aceh menjadi Status Bencana Nasional,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh sudah membuka tangan terhadap bantuan dari luar negeri. Salah satunya lima relawan asal Tiongkok yang membantu mencari jenazah yang masih tertimbun lumpur.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyebut, bantuan dari luar membantu mempercepat penanganan warga terdampak. “Mereka tolong kita, kok kita persulit? Kan bodoh,” katanya di Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Minggu (7/12) malam.
Kendala Biaya
Logistik yang sudah masuk kawasan bencana pun tidak mudah untuk didistribusikan. Akses yang banyak rusak akibat banjir bandang menyebabkan biaya transportasi menjadi tinggi.
Terutama untuk menjangkau kawasan terisolasi.
Fauzi, seorang relawan asal Medan, Sumut, menyebutkan, ketika akan membagikan bantuan ke sejumlah desa di Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, satu-satunya jalan hanya menggunakan perahu getek.
Karena harga satu liter solar di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, bisa mencapai Rp 80 ribu per liter, harga sewa getek tembus sampai Rp 1,5 juta.
“Logistik bantuan sebenarnya banyak. Kendalanya saat ini transportasi karena jembatan sudah terputus total,” katanya kepada Rakyat Aceh (10/12).
Sejumlah sembako sempat menumpuk di pinggir sungai karena relawan kekurangan biaya untuk menyewa transportasi air.
“Bantuan yang masuk ke desa paling ujung ini semuanya dari relawan. Yang kami harapkan dari pemerintah, mereka bisa membantu transportasi dan mengangkut bantuan itu,” katanya.
Air Bersih dan Kakus
Hampir seluruh pengungsi di posko pengungsian korban banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, kini mengeluhkan kesulitan air bersih dan MCK (mandi cuci kakus).
Di Kecamatan Meureudu, Meurah Dua, dan Ulim, banyak posko tidak memiliki fasilitas jamban dan air bersih yang memadai. Kondisi itu sangat rawan menimbulkan penyebaran berbagai penyakit dan memperburuk kualitas hidup pengungsi.
Baca Juga: ISI Padangpanjang Hidupkan Kembali Sanggar Kincuang Sarumpun lewat Program PISN
Hamdani, salah seorang warga korban banjir di Gampong Mancang, Kecamatan Meurah Dua, menyebut bahwa Pemkab Pidie Jaya seakan tidak serius mengurus para korban banjir yang kini rumahnya tidak dapat ditempati lagi akibat tertimbun lumpur setinggi hampir dua meter lebih.
“Kami sangat kekurangan air bersih. Tempat air yang dibawa pemerintah kemarin tidak pernah diisi air,” katanya.
Karena ketiadaan jamban, lanjutnya, warga yang bertahan di posko pengungsian terpaksa harus buang air besar (BAB) dalam plastik. Senada, Rahmad, warga Gampong Gelanggang, Kecamatan Ulim, menyebut bahwa saat ini warga terpaksa harus memanfaatkan air tambak untuk keperluan sehari-hari.
“Selama ini warga memanfaatkan air tambak untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan untuk BAB, kami harus di hamparan terbuka dengan penutup seadanya,” kata Rahmad.
