GELORA.CO - Latar belakang pendidikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni kembali menjadi bahan perbincangan publik.
Gelombang kritik muncul setelah banjir bandang dan longsor menerjang sejumlah wilayah di Sumatra, memicu desakan agar ia mundur dari jabatannya. dilansir dari instagram @bushcoo
Situasi bencana disebut menyingkap kelemahan pengelolaan lingkungan, sehingga publik mempertanyakan kapasitas serta kompetensi pejabat yang bertanggung jawab di sektor kehutanan.
Banyak pihak menyoroti bahwa Raja Juli tidak memiliki latar pendidikan di bidang kehutanan maupun sektor terkait lingkungan.
Informasi ini membuat publik mempertanyakan relevansi kompetensinya dengan tugas besar yang harus dijalankan Kementerian Kehutanan.
Terutama dalam konteks mitigasi bencana, tata kelola lingkungan, dan pengawasan area rawan.
Merujuk pada data resmi, Raja Juli merupakan lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari IAIN Syarif Hidayatullah yang kini dikenal sebagai UIN Jakarta.
Ia menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001 dengan skripsi bertema “Ayat-Ayat Jihad”, sebuah kajian yang mengkritisi penafsiran jihad sebagai perang suci.
Fokus akademiknya yang berada jauh dari kajian kehutanan atau studi lingkungan menjadi sorotan terbesar dalam gelombang kritik yang kini mengemuka.
Publik menilai bahwa ketidaksesuaian latar akademik ini semakin tampak saat bencana besar melanda sejumlah wilayah di Sumatra.
Banyak yang menganggap bahwa lemahnya respons dan minimnya mitigasi di sektor kehutanan mencerminkan masalah struktural, salah satunya kompetensi pimpinan kementerian.
Sebagian warganet bahkan mempertanyakan bagaimana kebijakan strategis dapat berjalan efektif jika pejabat teratas tidak memiliki basis pengetahuan teknis yang selaras.
Polemik mengenai latar pendidikan Raja Juli juga menambah panjang deretan kritik terhadap pengelolaan sektor kehutanan dalam beberapa tahun terakhir.
Isu deforestasi, alih fungsi lahan, hingga kerentanan daerah rawan selalu menjadi perdebatan publik yang memerlukan pemimpin dengan pemahaman teknis kuat dan rekam jejak di bidang lingkungan.
Munculnya tuntutan agar ia mundur dinilai sebagai akumulasi dari berbagai ketidakpuasan tersebut.
Banyak kalangan menilai bahwa bencana besar di Sumatra menjadi momentum evaluasi terhadap tata kelola kementerian, sekaligus pengingat bahwa kepemimpinan sektor teknis membutuhkan kompetensi yang selaras dengan kebutuhan lapangan.
Di sisi lain, perdebatan mengenai relevansi pendidikan pejabat publik bukanlah hal baru di Indonesia.
Namun kasus Raja Juli menjadi sorotan khusus karena posisinya berada di sektor yang sangat strategis dan bersentuhan langsung dengan keselamatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan.
Seiring meningkatnya tekanan publik, perbincangan mengenai kompetensi dan penempatan pejabat berdasarkan latar keilmuan diprediksi akan terus bergulir.
Masyarakat kini menunggu respons resmi pemerintah terkait kritik yang semakin keras, terutama setelah bencana di Sumatra memperlihatkan rentannya tata kelola lingkungan nasional.***
