Korupsi Impor Tekstil, Barang China Distampel India, Kejagung: Industri Dalam Negeri Gulung Tikar

Korupsi Impor Tekstil, Barang China Distampel India, Kejagung: Industri Dalam Negeri Gulung Tikar

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Direktur Penyidikan Jaksa Muda Agung bidang Pidana Khusus pada Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah mengatakan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan importasi tekstil pada Dirjen Bea dan Cukai itu tim jaksa penyidik menemukan kerugian perekonomian negara. 

Alasan penyidik pidana khusus menggunakan perhitungan kerugian perekonomian negara karena tidak hanya melihat dampak kasus importasi tekstil itu dari pendapatan bea masuk saja. Namun, melihat dampak kasus tersebut pada industri tekstil dalam negeri.

Oleh karena itu dikatakan Febrie,  penyelundupan barang tekstil tersebut membuat banyak pabrik tekstil dalam negeri gulung tikar alias bangkrut. Pasalnya, harga tekstil yang berasal dari selundupan luar negeri itu dijual dengan harga murah di pasaran. 

Kemudian barang selundupan dari luar negeri itu bisa masuk ke Indonesia karena ada setoran atau pemberian dana kepada petugas Bea Cukai di pelabuhan seperti di Batam dan Tanjung Priuk, Jakarta. 

"Jelas, barang impor itu lebih minat para pembeli dibandingkan produksi dalam negeri," kata Febrie di gedung bundar, Kejagung, Jumat (7/8/2020) malam. 

“Harga produknya itu bersaing. Itulah kenapa banyak pabrik tekstil kita tutup. Sehingga jaksa berpendapat sangat perlu untuk menangani kasus ini. Sebab menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujar Febrie.

Febrie menjelaskan, dampak lainnya, bila banyak pabrik tutup di dalam negeri, maka akan berpengaruh pada tingginya tingkat pengangguran di sejumlah daerah. 

“Makanya kita tindak, sehingga kita anggap bukan merugikan negara tapi perekonomian negara,” ucap Febrie. 

Dia berharap, kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi para petugas di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, dan para pengusaha agar tak lagi melakukan importasi tekstil non prosedur.

“Kasus ini itu barangnya dari China tapi di stampel seolah-olah barangnya dari India. Sehingga dia masuk tanpa beban biaya pajak dan lain-lain. Padahal, dari China itu ada bea masuknya,” tegas Febrie.  

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung akan terus berupaya menyelesaikan kasus importasi tekstil pada Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan periode 2018-2020.

Penyidik menemukan adanya kerugian ekonomi negara dalam kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan importasi tekstil yang jumlahnya mencapai Rp1,6 triliun.        

Sebelumnya penyidik Jampidsus telah menetapkan lima tersangka dugaan korupsi importasi tekstil di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. 

Empat tersangka merupakan pejabat di Bea dan Cukai Batam. Sisanya, merupakan pihak swasta.

Para tersangka itu, yakni Mukhamad Muklas selaku Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Batam.

Kemudian, Dedi Aldrian selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai III pada KPU Bea dan Cukai Batam. Serta Hariyono Adi Wibowo selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai I pada KPU Bea dan Cukai Batam.

Selanjutnya, Kamaruddin Siregar selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai II pada KPU Bea dan Cukai Batam. Serta Irianto selaku pemilik PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima.               

Diketahui, PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima kerap mengimpor 566 kontainer bahan kain dengan modus mengubah invoice dengan nilai yang lebih kecil.    

Tujuannya, mengurangi bea masuk, mengurangi volume dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) dengan cara menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA) tidak sah. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita