Politik Pasca Jokowi

Politik Pasca Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Widhyanto Muttaqien

Ada cerita tentang kekalahan Jerman dalam PD I, menyebabkan kelas menengah berharap pada NAZI yang kala itu berhadap-hdapan dengan kaum sosialis. NAZI waktu itu memberikan janji demokrasi yang menyatukan kelas menengah, rakyat perdesaan, buruh dalam kerangka paling populis, Volk bangsa Jerman paling sejati.

Ada cerita lain yang diceritakan Daniel S Lev tentang Dekrit 1959, ada demokrasi terpimpin yang dimulai dan disponsori oleh oleh tentara, sebagai kelompok terkuat dan paling bisa mendesak. Sebelumnya dalam Pemilu 1955 PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan No. 7 Tahun 1959 untuk mengatur kehidupan partai politik di Indonesia, yang antara lain menyebut bahwa hanya partai-partai yang dapat menerima Pancasila yang akan diberi hak hidup. Partai Masyumi dan PSI dibubarkan karena ada tokoh-tokohnya yang dianggap terlibat PRRI/Permesta, yang waktu itu menuntut otonomi lebih luas, semua tokoh dalam PRRI/Permesta adalah pejuang kemerdekaan.

Tahun 1982 munculah azas tunggal yang dipelopori Bapak Pembangunan. Demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Banyak terjadi perpecahan di kalangan internal partai dan ormas.

Indonesia sebagai negara bangsa yang luas memiliki pengalaman demokrasi beraneka jenis dalam pencariannya. Jika Jerman memiliki ‘Jerman Sejati’ dalam periode NAZI, kita punya beragam jargon, tentang kebhinekaan dan Pancasila itu sendiri.

Dalam beberapa tahun pemerintahan Jokowi, kelompok kritis terhadap pemerintah sudah dilabeli Anti Pancasila. Semua orang menunggu model seperti apa yang dipromosikan Jokowi selanjutnya untuk membendung kritikan, gaya Soekarno atau gaya Soeharto, keduanya memiliki cara yang khas. Saya membayangkan cara yang akan digunakan Jokowi antara gaya Soekarno dengan model kepemimpinan Jokowi sendiri.

Jika Soekarno pada masa itu harus memompa dirinya sendiri agar terlihat oleh semua rakyat Indonesia dengan daya pukaunya lewat pidato, Jokowi sama sekali tidak memiliki itu semua. Jokowi dan orang-orang di belakang layarnya menggunakan pendekatan promosi periklanan dengan menggunakan 1. Wacana kontroversial untuk melihat penerimaan ‘pasar’. 2. Lewat lembaga statistik terus menyodorkan ‘data ilmah’. 3. Ada pendukung utama dari berbagai elemen kelas menengah kota- di desa lewat underbouw ormas, partai atau LSM yang mendukung pembangunan [bisa disebut tukang sorak] yang menciptakan ‘kerumunan’ dan ‘wacana semu’, ‘monumen memori’ [bisa dibaca gak penting bagi jalannya ekonomi, selanjutnya budaya]. 4. Ada usaha serius dari intelektual pendukungnya untuk menjustifikasi semua tindakannya. 5. Membangun citra visual, sehingga orang membincang citra tersebut bukan pada objek sebenarnya, mengaburkan komposisi isi, atau dalam ilmu politik rayuan dangkal.

Proses pencitraan seperti ini juga dikenakan untuk lawan politiknya, seperti pendukung khilafah, men-Suriahkan- Indonesia, perusuh poltik, ‘Malin Kundang’, ‘tidak tahu malu dan berterimakasih’ [bagi kantong suara lawan Jokowi, baik dalam pilpres maupun dalam birokasi dibawah kepemimpinannya] Ancaman terbesar politik ke depan sudah tampak dari pengalaman politik selama lima tahun pemerintah Jokowi. Kebhinekaan sekarang nampak sekali hanya kendaraan untuk menghidupkan ‘daulat tuan’ dimana Presiden tidak bisa salah, yang sebenarnya dibawah citraan, ada realitas sirkulasi modal [uang dan kekayaan] sungguh-sungguh mengancam kedaulatan negara. Kira-kira Ormas dan Partai apa saja yang sedang dikejar-kejar oleh kekuasaan, dibalik citra Satu Indonesia. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita