Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
(Abstrak, Keadilan? Nonsense).
Vonis gugatan TPUA terhadap Jokowi terkait Ijazah Palsu diputus "ditolak" dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN.Jakpus) tidak berwenang mengadili atau N.O. - niet ontvankelijke verklaard
Keputusan N.O tersebut berdasarkan pertimbangan hukum mejelis hakim yang sepakat terhadap eksepsi Kompetensi Absolut yang disampaikan pihak Pengacara Jokowi yakni Otto Hasibuan, bantahan atau keberatan formal (eksepsi) dari Tergugat I dimaksud menyatakan bahwa "pengadilan tempat gugatan diajukan mutlak tidak berwenang untuk mengadili jenis perkara tersebut", melainkan hak kompetensi absolut ranah peradilan Pengadilan Tata Usaha Negara/ PTUN.
Maka selain 'lidah hakim tak bertulang', tentu penulis tidak terkejut, atas putusan N.O terhadap gugatan terkait Ijazah Gibran, Senin (22/12/2025) yang amarnya menyatakan "mengabulkan eksepsi dari para tergugat bahwa PN. Jakpus Negeri (tidak) berwenang mengadili perkara a quo in casu.
Lalu bagaimana kelak bakal putusan Pengadilan Negeri Surakarta, yang sedang memeriksa perkara yang juga terkait Ijazah Jokowi ? Tentu putusan bakal sama dengan, karena pengadilan Surakarta dan Pengadilan Jakarta Pusat sama-sama satu atap di bawah Mahkamah Agung RI/MA dimana jabatan Ketua MA penentuan finalnya berdasarkan persetujuan DPR RI, kemudian diangkat serta dilantik oleh Presiden RI yang berlatarbelakang politik praktis, sehingga analoginya "Ketua MA identik dengan Jabatan Politis", tidak murni sekedar jabatan karir yang berangkat dari sistim struktural, melainkan 'cermin' teori politik kekuasaan.
Selanjutnya dari perspektif yurisdiksi Pengadilan Negeri berkompeten menangani perkara a quo in casu, selain perkara harus melalui Pengadilan TUN akan terbentur durasi gugatan paling lambat gugatan harus diajukan 90 hari dari diterbitkannya objek TUN (Ijazah) oleh rektor UGM selaku ex officio Kemendiktisaintek.
Pertanyaannya jika kompetensi gugatan a quo ijazah Jokowi melalui PTUN maka sudah berapa lama Ijazah Jokowi a quo in casu dikeluarkan ? Tentu bakal dihambat kembali oleh eksepsi pengacara Tergugat Jokowi kelak di PTUN dan serius nyaris mutlak bakal ditolak ? Sehingga nasib vonis gugatan mirip bola "pimpong".
Dan terkait daluarsanya pengajuan gugatan merujuk sistimatika UU. Tentang Pengadilan TUN tentu para Hakim disetiap lembaga peradilan mengetahui diluar kepala mereka.
Bahwa dari sudut pandang teori hukum putusan pengadilan yang menyatakan N.O ini jelas bertentangan dengan berbagai teori-teori-asas hukum. Cukup penulis ulas sampaikan beberapa diantaranya profesi hakim terikat:
1. Asas mala in se, bahwa sesuatu pelanggaran atau kejahatan sampai kapan pun harus dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran atau kejahatan bukan sebaliknya sebagai sebuah kebenaran atau perilaku kebaikan, oleh karenanya harus ditentukan oleh sebuah putusan pengadilan (pidana atau melalui perdata/ onrechtmatige overheidsdaad) yang berkepastian hukum (legalitas/ rechtmatigheid);
2. Fungsi hakim sebagai alat kontrol hukum ditengah kehidupan masyarakat juga berfungsi sebagai alat temuan hukum, untuk itu hakim sah berlaku tidak melulu terpaku kepada teori asas legalitas tentang alat bukti (convicton raisonee) namun hakim halal menggunakan asas conviction intime, atau keyakinan hakim (nurani) disebabkan hakim juga terikat pada;
3. Asas notoire feiten, yakni bukti yang sepengetahuan umum, bahwa Jokowi adalah sosok pembohong (lip service) dengan kata lain hobi melanggar norma hukum, sehingga sepengetahuan publik termasuk para hakim, bahwa Jokowi secara moral adalah sosok notoire feiten 'notorius';
4. Asas Ius Curia Novit setiap hakim atau Pengadilan tahu hukum, yang berarti semua hakim wajib memeriksa dan memutus setiap perkara karena dianggap menguasai hukum, analogi-filosofisnya, "hakim tidak boleh menolak dengan alasan apapun, " hal ini mengikat merujuk ketentuan Pasal 10 UU Tentang Kekuasaan Kehakiman;
Selain dan selebihnya argumentasi hukum artikel sesuai perkembangan gejala proses hukum tidak apriori -intuitif (subjektif), melainkan sesuai data empirik karena proses hukumnya pernah nyata dilalui, ilustrasi hukumnya bahwa TPUA pernah mengajukan gugatan perdata (2023) juga telah melaporkan temuan (representatif) publik atas "dugaan" tindak pidana Jokowi sebagai pengguna Ijazah S-1 palsu (9/12/2024) melalui DUMAS Mabes Polri dan untuk ’kejelasan informasi publik serta sejarah hukum tanah air', pastinya tertera dalam BAP dihadapan Penyidik Bareskrim mabes polri dan reskrimum polda Metro Jaya, saat penulis menjabat koordinator advokat TPUA (eks sekjen TPUA), bahwa gugatan dan laporan dugaan tindak pidana a quo pure 'konseptor tunggal' dimaksud pembuatnya adalah penulis, lalu publis bahwa proses perkara pidana tersebut stagnasi akibat penetapan "sementara henti lidik", oleh sebab ijazah S-1 UGM Jokowi yang rumit namun nyatanya penyidik Bareskrim hanya menggunakan metode analitik simplistik (analisis manual), hasilnya dinyatakan identik ijazah asli" (vide SP3 Dumas Mabes Polri 25/4/7"), sehingga pendekatan proses hukum yang dilakukan oleh pihak penyidik jauh penuhi unsur unsur pra syarat formal untuk mendapatkan kebenaran materil (materiele waarheid).
Andaipun belakangan eksplisit resmi dinyatakan oleh Mabes Polri saat GPK (Gelar Perkara Khusus/12/2025) analisis keaslian sudah melalui digital labfor, namun pola analisis dari proses labfor tidak transparansi, sehingga tendensi tidak akuntabel, melainkan cenderung melanggar UU. Polri Jo. Perkap Polri Jo. KUHAP Jo. UU. KIP serta dipastikan melanggar asas-asas good governance yang mesti dipatuhi oleh setiap individu anggota Polri selaku penyelenggara negara.
Bahwa menurut teori hukum tentang asas subsidiaritas atau Prinsip Ultimum Remedium yang harfiahnya berarti "obat terakhir" atau "sanksi terakhir", asas ini mengandung makna bahwa hukum pidana (pengadilan pidana) sebaiknya digunakan hanya jika upaya hukum lain, seperti hukum perdata atau hukum administrasi, tidak efektif atau tidak memadai untuk menyelesaikan terkait kepercayaan kepada negara atau setidaknya khusus penanganan hukum terkait Jokowi merupakan "problem of trust in law enforcement" dan peristiwa hukum Ijazah Jokowi jujur sudah membuat kegaduhan baik pra maupun pasca Jokowi melaporkan balik publik penduga, terlebih dan pasca ditetapkannya 8 orang Tersangka, sehingga asas ultimum remedium vital digunakan demi memulihkan ketertiban umum (stabilitas negara) dan tujuan fungsi kepastian hukum
Komparasi teori yang mimikris menjadi retorik dan sebuah kesimpulan
Oleh karenanya dan oleh sebab eksistensi keberlakuan asas mala se dalam konektivitas terhadap asas-asas teori notoire feiten dan putusan koor satu atap serta penetapan penghentian penyelidikan pengaduan TPUA (9/12/2024) melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) Nomor 14657/VII/RES.7.5/2025/BARESKRIM tertanggal 25 Juli 2025 telah menutup teori fungsi tujuan hukum untuk menemukan kepastian (legality) dan manfaat (utility/ doelmatigheid) terkait efek jera total berimplikasi buntu alias nihil, teori sekedar retorik, dan tentu saja tujuan fungsi hukum yang tertinggi mendapatkan rasa keadilan (gerechtigheid) menjadi mimpi indah yang terkubur. Lalu apa solusi penulis terhadap deskripsi diskursus politik hukum yang realistis, one way ticket berani implementasikan "Peran Serta Masyarakat" sesuai ketentuan norma hukum yang belaku dengan pola intensif (kompleks) serta realitas, tidak omon-omon dalam ruang sempit dan ingat jangan anarkis, wajib patuhi ketentuan hukum.
