GELORA.CO - Program Makan Bergizi Gratis atau MBG kembali menjadi sorotan publik setelah tetap berjalan saat libur sekolah akhir tahun.
Kebijakan MBG saat libur sekolah ini memunculkan perdebatan antara urgensi pemenuhan gizi anak dan efektivitas penggunaan anggaran negara.
Di tengah libur sekolah yang rata-rata berlangsung dari 22 Desember 2025 hingga 3 Januari 2026, siswa tetap diminta datang ke sekolah untuk mengambil paket MBG.
Program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini sejak awal dirancang untuk menjamin asupan gizi anak sekolah setiap hari.
Namun pelaksanaan MBG saat sekolah tutup justru memantik kritik keras dari anggota DPR RI yang menilai kebijakan ini berpotensi melenceng dari tujuan awal perbaikan gizi.
Isu makanan kemasan, distribusi, hingga dugaan sekadar mengejar serapan anggaran pun ikut mencuat.
Di lapangan, pelaksanaan MBG saat libur sekolah menunjukkan praktik yang beragam.
Mulai dari pembagian susu kemasan, buah, hingga kurma dengan porsi berbeda di tiap jenjang kelas.
Di sinilah perdebatan soal manfaat, kualitas gizi, dan dampak jangka panjang program MBG kembali diuji.
Program Makan Bergizi Gratis merupakan salah satu kebijakan prioritas nasional yang resmi diluncurkan pada Januari 2025.
Program ini menyasar siswa sekolah, ibu hamil, serta ibu menyusui sebagai kelompok rentan gizi.
Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional atau BGN menegaskan bahwa kebutuhan gizi tidak mengenal kalender akademik.
Menurut BGN, anak tetap membutuhkan asupan bergizi meski tidak berada di ruang kelas.
Selain itu, MBG dinilai membantu meringankan beban pengeluaran keluarga berpenghasilan menengah ke bawah selama masa libur.
Atas dasar itu, distribusi MBG tetap dilakukan dengan skema pengambilan langsung di sekolah.
Namun pelaksanaan di lapangan tidak lepas dari kritik.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, secara terbuka mempertanyakan relevansi pembagian MBG saat libur sekolah.
Ia menyoroti jenis makanan yang dibagikan, yang didominasi produk kemasan.
“Saya sangat semangat ketika mendengar BGN menyatakan akan melarang ultra-processed food untuk MBG,” ujar Charles dalam pernyataannya.
Menurutnya, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Distribusi makanan kemasan saat libur sekolah berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama dari sisi kualitas gizi.
Charles menilai tujuan utama MBG adalah memperbaiki status gizi anak secara nyata.
Jika yang dibagikan adalah makanan kemasan dengan nilai gizi terbatas, maka esensi program berisiko hilang.
Ia juga menyoroti tantangan distribusi yang lebih sulit diawasi saat sekolah tidak aktif.
Kritik lain yang mencuat adalah dugaan dorongan mengejar serapan anggaran akhir tahun.
Menurut Charles, program publik seharusnya tidak dijalankan semata-mata untuk menghabiskan sisa anggaran.
“Sisa anggaran MBG bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti bantuan bagi penyintas banjir bandang,” tegasnya.
Di sisi lain, data lapangan menunjukkan bahwa isi paket MBG selama libur sekolah tidak sepenuhnya seragam.
Di Kabupaten Langkat, misalnya, siswa menerima paket berisi susu, buah, dan kurma.
Porsi dan jenis makanan disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing.
Pendekatan ini diklaim sebagai upaya menjaga standar gizi minimum selama libur sekolah.
Namun sejumlah ahli gizi mengingatkan bahwa makanan kemasan, meski praktis, memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi seimbang.
Asupan protein segar, serat, dan mikronutrien sering kali tidak optimal jika bergantung pada produk siap konsumsi.
Secara kebijakan, MBG saat libur sekolah menempatkan pemerintah pada posisi dilematis.
Di satu sisi, negara ingin hadir menjamin hak gizi anak setiap hari.
Di sisi lain, pelaksanaan yang kurang adaptif berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap program besar ini.
Program Makan Bergizi Gratis saat libur sekolah menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya berangkat dari niat baik.
Pelaksanaan teknis dan kualitas manfaat di lapangan menjadi kunci keberhasilan program.
Kritik DPR seharusnya dibaca sebagai alarm perbaikan, bukan sekadar perdebatan politik.
Ke depan, pemerintah perlu memastikan bahwa MBG benar-benar menghadirkan makanan bernilai gizi tinggi, bukan sekadar mudah didistribusikan.
Transparansi anggaran, evaluasi menu, dan pengawasan distribusi menjadi elemen penting agar program ini tetap kredibel.
Tanpa itu, MBG berisiko kehilangan kepercayaan masyarakat yang justru menjadi target utamanya.
Jika dikelola dengan tepat, MBG bisa menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Namun jika dijalankan tanpa sensitivitas konteks, kebijakan ini justru dapat memunculkan skeptisisme publik.
Di sinilah tantangan nyata MBG diuji, bukan hanya di meja anggaran, tetapi di piring anak-anak Indonesia.***
