GELORA.CO - Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyinggung besaran bantuan Malaysia bagi korban bencana banjir di Sumatra menuai kritik keras.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, menilai pernyataan tersebut tidak pantas, beraroma keangkuhan, dan berpotensi mencederai hubungan baik antarnegara.
Ray menyebut, membandingkan bantuan kemanusiaan negara tetangga dengan kewajiban pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya sendiri merupakan sikap yang keliru dan tidak relevan.
“Bukan hanya memalukan, tapi menunjukkan keangkuhan dan tidak adanya penghormatan atas niat baik negara tetangga,” ujar Ray dalam keterangan tertulisnya kepada Konteks.co.id, Rabu, 17 Desember 2025.
Bikin Malu Indonesia di Mata Internasional
Menurut Ray, pernyataan Mendagri Tito Karnavian tidak hanya bersifat pribadi, melainkan mencerminkan sikap pemerintah Indonesia di mata internasional. Karena itu, ia menilai Mendagri seharusnya segera menarik kembali pernyataannya tersebut.
“Pernyataan merendahkan seperti itu sangat tidak layak diucapkan oleh Mendagri, apalagi disampaikan kepada negara tetangga,” imbuhnya.
Ray menegaskan, posisi Mendagri sebagai perwakilan utama presiden dalam urusan pemerintahan dalam negeri membuat setiap pernyataan publiknya memiliki bobot sebagai sikap resmi negara.
“Nada merendahkan terhadap negara lain sangat tidak dapat dibenarkan. Lebih tidak dapat dibenarkan karena dilakukan oleh Mendagri yang merupakan perwakilan utama presiden dalam hal tata kelola pemerintahan dalam negeri,” tuturnya.
Atas dasar itu, Ray mendesak Mendagri tidak hanya mencabut pernyataan tersebut, tetapi juga menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada pemerintah dan rakyat Malaysia.
Perbandingan yang Tidak Relevan
Ia menilai perbandingan yang dilakukan Mendagri sangat tidak relevan karena mencampuradukkan kewajiban negara dengan bantuan sukarela pihak lain.
“Bagaimana mungkin membandingkan bantuan negara lain dibandingkan dengan kewajiban pemerintah atas rakyat sendiri. Jelas sangat tidak relevan. Sama tidak relevannya membandingkan bantuan warga yang dilakukan dengan sukarela dengan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah pada korban banjir bandang Sumatra,” kritik Ray.
Mantan aktivis 1998 itu menambahkan, cara berpikir seperti ini menunjukkan kegagalan memahami perbedaan mendasar antara kewajiban negara dan empati sukarela dari pihak lain.
“Perlu disampaikan bahwa bantuan itu bersifat sukarela. Karena itu sifatnya sukarela, maka tidak patut dinilai dari besar kecilnya. Ia hanya bisa dinilai dari aspek kerelaan,” ujar dia.
Ray menekankan, kehadiran negara dalam situasi bencana adalah kewajiban mutlak, bukan sekadar bantuan.
“Bahwa orang lain memiliki empati dan ikut serta bertindak mengurangi rasa sakit para korban. Peran pemerintah bukanlah membantu. Tapi bersifat wajib," tegas Ray.
"Wajib terlibat untuk memperbaiki kondisi Sumatra paska banjir, wajib memberi makan warganya, wajib menyediakan rumah bagi para pengungsi, wajib memastikan peristiwa yang sama tidak akan terulang. Jelas sangat berbeda antara tindakan karena sukarela dengan kewajiban yang harus dilakukan,” tambahnya.
Mendagri Sebut Bantuan Malaysia Tak Seberapa
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengomentari bantuan dari Malaysia yang diberikan kepada korban bencana di Sumatra.
Ia menyebut nilai bantuan tersebut relatif kecil dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan kapasitas pemerintah Indonesia.
Tito mengaku sempat menerima informasi mengenai rencana pengusaha Malaysia yang akan mengirimkan bantuan obat-obatan bagi korban banjir di Aceh.
Namun, setelah dilakukan penilaian, nilai bantuan tersebut dinilai tidak besar.
“Setelah dilihat (jenisnya), obat, dikaji, berapa banyak obat-obatan yang dikirim, itu nilainya tidak sampai Rp1 miliar, kurang lebih Rp1 miliar,” kata Tito dalam sebuah video wawancara seperti dikutip Selasa, 16 Desember 2025.
Mantan Kapolri itu menegaskan, pemerintah Indonesia memiliki anggaran jauh lebih besar untuk penanganan bencana.
“Kita kan, negara, kalau itu Rp1 miliar, kita cukup (mampu), kita punya anggaran yang jauh lebih besar daripada itu. Bantuan yang kita deploy (kerahkan) juga jauh lebih besar daripada itu,” katanya.
Menurut Tito, bantuan asing dalam jumlah kecil berpotensi menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat, seolah-olah pemerintah tidak hadir secara optimal dalam penanganan bencana, padahal anggaran dan sumber daya yang dikerahkan negara jauh lebih besar.***
