GELORA.CO - Habib Rizieq Shihab menyinggung pernyataan Prabowo Subianto pada tahun 2015 terkait penetapan bencana nasional, yang dinilainya berbeda dengan sikap pemerintah saat ini dalam menangani bencana di Aceh dan sejumlah wilayah Sumatra.
Dalam keterangannya kepada publik, Habib Rizieq mengingatkan bahwa Prabowo, ketika belum menjabat sebagai presiden, pernah secara terbuka mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk menetapkan bencana besar sebagai bencana nasional demi percepatan penanganan dan terbukanya akses bantuan internasional.
Ia merujuk pada unggahan Prabowo di media sosial pada 13 Oktober 2015, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau.
Dalam unggahan tersebut, Prabowo menulis agar pemerintah segera menetapkan bencana nasional agar penanganan dapat dilakukan lebih cepat dan bantuan luar negeri dapat segera masuk.
“Artinya, sejak dulu Presiden kita sebenarnya memiliki pandangan bahwa jika terjadi bencana besar, seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional. Namun, ketika sekarang beliau menjabat sebagai presiden, sikap tersebut dinilai tidak terlihat dalam kasus bencana Aceh dan Sumatra,” ujar Habib Rizieq dikutip dari kanal Youtube pecinta ulama, Sabtu 20 Desember 2025.
Habib Rizieq mengungkapkan bahwa dirinya telah menyampaikan permintaan kepada pemerintah agar bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ditetapkan sebagai bencana nasional.
Menurutnya, status tersebut penting agar seluruh elemen negara dapat fokus, pengalokasian anggaran menjadi lebih besar, serta bantuan internasional dapat masuk secara optimal.
Ia membandingkan situasi saat ini dengan penanganan bencana besar di masa lalu.
Menurut Habib Rizieq, pada tsunami Nusa Tenggara Timur tahun 1992, Presiden Soeharto langsung menetapkan status bencana nasional sehingga bantuan dari dalam dan luar negeri dapat segera terkoordinasi.
Hal serupa juga dilakukan pada tsunami Aceh tahun 2004 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Begitu dinyatakan bencana nasional, semua bergerak. Pemerintah pusat, daerah, organisasi masyarakat, hingga komunitas internasional. Aceh bisa dibangun kembali dalam waktu relatif singkat,” katanya.
Habib Rizieq juga menyampaikan kekhawatirannya terkait kemungkinan adanya laporan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan kepada Presiden.
Ia menuding ada pejabat yang melaporkan situasi seolah-olah telah tertangani dengan baik, padahal kenyataannya belum demikian.
Ia mencontohkan laporan mengenai pemulihan listrik di Aceh yang disebut telah normal, namun menurutnya masih banyak wilayah yang mengalami pemadaman.
Ia menilai kondisi tersebut berbahaya karena dapat membuat pengambilan kebijakan tidak berdasarkan fakta sebenarnya.
“Saya yakin Presidennya orang baik. Tapi kalau laporan yang diterima hanya yang menyenangkan, itu bisa menyesatkan,” ujarnya.
Meski mengkritik, Habib Rizieq mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang beberapa kali turun langsung ke Aceh dan Sumatra Barat untuk meninjau lokasi bencana.
Namun, ia mengingatkan agar kunjungan tersebut benar-benar memperlihatkan kondisi nyata di lapangan, bukan hanya area yang telah dipersiapkan secara khusus.
Menurutnya, hingga saat ini pemerintah masih memiliki waktu untuk menetapkan bencana Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional demi efektivitas penanganan dan pemulihan.
Habib Rizieq juga menyampaikan bahwa Front Persaudaraan Islam (FPI) telah mengerahkan relawan dan bantuan sejak hari pertama bencana.
Sebanyak 25 relawan diberangkatkan, disertai pengiriman sekitar 20 ton bantuan melalui jalur laut.
Selain itu, FPI menghimpun bantuan dalam bentuk dana yang kemudian disalurkan ke posko-posko di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat untuk memenuhi kebutuhan logistik dan mendirikan dapur umum.
Ia menegaskan bahwa bantuan diberikan tanpa memandang latar belakang agama, suku, organisasi, maupun afiliasi politik.
“Dalam kondisi bencana, yang utama adalah kemanusiaan. Semua dibantu tanpa melihat perbedaan,” ujarnya.
Habib Rizieq berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penetapan status bencana nasional serta memastikan penanganan dilakukan secara transparan dan sesuai kondisi di lapangan, demi keselamatan dan pemulihan para korban bencana di Sumatra.
