Gelombang Penolakan Menguat, Seruan Prabowo Tanam Sawit di Papua Dinilai Ancam Hutan Adat

Gelombang Penolakan Menguat, Seruan Prabowo Tanam Sawit di Papua Dinilai Ancam Hutan Adat

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Gelombang Penolakan Menguat, Seruan Prabowo Tanam Sawit di Papua Dinilai Ancam Hutan Adat

GELORA.CO
- Wacana menjadikan Tanah Papua sebagai lumbung energi dan pangan nasional kembali memicu polemik. 

Seruan Presiden Prabowo Subianto agar Papua ditanami kelapa sawit, tebu, dan singkong menuai penolakan luas dari masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang menilai kebijakan tersebut berisiko besar terhadap kelestarian hutan dan ruang hidup Orang Asli Papua.

Presiden Prabowo menyampaikan gagasan tersebut saat memberikan pengarahan kepada para kepala daerah se-Tanah Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025). 

Dalam arahannya, Prabowo menargetkan Papua mampu mencapai swasembada energi dan pangan dalam lima tahun ke depan, termasuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM) berbasis sawit serta etanol dari tebu dan singkong guna menekan ketergantungan impor energi nasional.

Namun, rencana ambisius tersebut langsung memantik kekhawatiran berbagai pihak. Koalisi Masyarakat Adat Papua menegaskan bahwa Papua bukanlah tanah kosong yang bisa dibuka secara masif untuk kepentingan investasi.

Ketua Anak Muda Adat Knasaimos (AMAK), Nabot Sreklefat, menyatakan bahwa Papua memiliki sekitar 33–34 juta hektare hutan yang menjadi sumber kehidupan manusia, habitat satwa liar, sekaligus fondasi identitas budaya Orang Asli Papua.

“Pembukaan hutan untuk sawit dan proyek berskala besar lainnya jelas mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat,” tegas Nabot dalam pernyataannya yang beredar hari ini, Sabtu (20/12/2025).

Penolakan tersebut juga diperkuat oleh data lapangan. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat sedikitnya 94 perusahaan perkebunan sawit telah beroperasi di Papua. 

Akibatnya, lebih dari 1,33 juta hektare hutan dilaporkan telah terbuka, memicu deforestasi masif, konflik agraria, serta perampasan tanah adat.

Situasi serupa terjadi di Merauke. Proyek swasembada pangan dan energi di wilayah tersebut dilaporkan berjalan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat, serta minim izin lingkungan. 

Dalam kurun hampir dua tahun, lebih dari 22.680 hektare hutan alam hilang, yang berdampak pada meningkatnya banjir di sejumlah distrik akibat rusaknya kawasan hulu.

Greenpeace Indonesia menilai rencana tersebut sebagai kelanjutan dari pola lama eksploitasi sumber daya alam. Ekspansi perkebunan sawit disebut sebagai penyumbang utama deforestasi, degradasi lahan gambut, dan lonjakan emisi karbon

sebuah pola yang sebelumnya telah meninggalkan jejak kerusakan serius di Sumatra dan Kalimantan.

Sementara itu, Walhi Papua bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menegaskan penolakan tegas terhadap pembukaan hutan adat di Papua. 

Mereka menilai kebijakan swasembada pangan dan energi berpotensi memperkuat dominasi korporasi atas lahan skala luas, sekaligus mengancam keberlanjutan lingkungan, kedaulatan pangan lokal, dan hak-hak masyarakat adat.

Gelombang penolakan ini menjadi sinyal kuat bahwa pembangunan di Papua menuntut pendekatan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada perlindungan lingkungan serta hak Orang Asli Papua. *** (Guffe)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita