GELORA.CO - Ahmad Khozinudin, turut merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengaku siap menanggung utang proyek kereta cepat Whoosh menggunakan uang sitaan koruptor.
Dikatakan Ahmad, langkah tersebut tetap salah karena uang sitaan korupsi sejatinya milik rakyat, bukan milik pemerintah atau pejabat tertentu.
“Uang sitaan koruptor itu uang rakyat, ngapain untuk tombok korupsi Whoosh Jokowi dan Luhut Panjaitan?," seperti dikutip, Jumat (6/11/2025).
Ia menilai Prabowo tidak siap menghadapi respons masyarakat yang marah, karena sebelumnya Prabowo melalui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), berencana menambal utang Whoosh menggunakan APBN.
“Terang aja, rakyat marah. Karena APBN berasal dari pajak rakyat, APBN bukan hasil iuran Presiden dan Menteri, APBN adalah uang rakyat,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa Prabowo keliru jika menganggap penggunaan uang sitaan koruptor tidak akan memicu kemarahan publik.
Kata Ahmad, logika itu terlalu sederhana, sebab uang sitaan dari aparat penegak hukum, baik dari kasus korupsi maupun lainnya, juga sejatinya milik rakyat, karena diperoleh melalui proses hukum yang dilakukan oleh aparat yang digaji dari pajak rakyat.
"Maka, seluruh sitaan itu hakekatnya milik rakyat, yang dikembalikan kepada rakyat melalui pos penerimaan APBN non-pajak," Ahmad menuturkan.
"Jadi karena uang itu hakekatnya milik rakyat, maka wajib kembali kepada rakyat, bukan untuk talangi utang Whoosh," tambahnya.
Ia menegaskan, uang sitaan wajib digunakan untuk program pro-rakyat dan tidak boleh langsung dialokasikan untuk menutupi utang proyek Whoosh tanpa melalui pembahasan APBN.
Lebih jauh, Ahmad menekankan bahwa uang sitaan dari korupsi awalnya adalah uang rakyat yang diselewengkan oleh koruptor, baik berasal dari APBN maupun dari sumber daya alam yang menjadi hak rakyat.
"Uang itu wajib kembali kepada rakyat, bukan untuk talangi utang Whoosh," tegasnya.
Pengacara tersebut juga menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap proyek Whoosh oleh BPK dan penyelidikan mendalam oleh KPK.
“Semestinya proyek Whoosh diaudit BPK dan disidik KPK (bukan hanya diselidiki). KPK bisa menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, termasuk Pasal 12B UU Tipikor untuk menyeret pelaku korupsi Whoosh,” imbuhnya.
Selain itu, Ahmad menyarankan agar harta kekayaan Jokowi dan Luhut bisa disita untuk menutupi utang proyek, sesuai Pasal 18 UU Tipikor.
“Agar utang Whoosh tidak membebani rakyat, terapkan juga Pasal 18 UU Tipikor. Agar, harta kekayaan Jokowi dan Luhut bisa disita untuk menutup utang Whoosh,” terangnya.
Jika Jokowi dan Luhut menolak menyerahkan kereta tersebut, Ahmad menegaskan, kereta bisa dibawa ke Solo atau Toba sebagai warisan bagi anak cucu mereka, sementara harta mereka tetap bisa disita KPK.
“Sementara itu, jika Jokowi dan Luhut tak mau dan minta kereta itu, dia bisa bawa kereta China itu ke Solo dan ke Toba, untuk warisan anak cucu mereka. Sementara harta mereka, tetap bisa disita KPK,” kuncinya ***
Sumber: pojok1
