Oleh:Dr. Surya Wiranto, SH MH
PENETAPAN delapan warga negara sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo menimbulkan perdebatan mendasar tentang batas antara kebebasan berekspresi dan tindak pidana pencemaran nama baik. Kajian ini menelaah kasus tersebut melalui pendekatan hukum normatif dan kebijakan publik, dengan menyoroti konflik antara perlindungan hak konstitusional warga negara dan pendekatan represif penegak hukum.
Analisis berfokus pada prinsip supremasi konstitusi, proporsionalitas penegakan hukum, dan urgensi pembaruan sistem hukum agar selaras dengan nilai demokrasi digital. Studi ini menegaskan bahwa kriminalisasi atas ekspresi yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Konteks Kasus dan Signifikansi Konstitusional
Kasus hukum yang melibatkan Roy Suryo dan tujuh warga lainnya pada tahun 2024, terkait tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, telah membuka perdebatan besar mengenai hak konstitusional warga negara di era demokrasi digital. Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas tuduhan penyebaran informasi palsu, pencemaran nama baik, serta manipulasi digital terhadap dokumen akademik Presiden.
Menurut pernyataan resmi kepolisian, penetapan tersebut dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan dan pembagian kluster pasal pidana yang dianggap relevan, termasuk Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Roy Suryo menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelaksanaan hak konstitusional untuk memperoleh informasi publik dan melakukan penelitian terhadap dokumen kenegaraan. Ia menegaskan bahwa penyelidikan publik terhadap dokumen resmi seharusnya tidak dikriminalisasi karena hal itu merupakan bagian dari hak warga negara untuk mengawasi pejabat publik, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28F tentang hak memperoleh dan menyampaikan informasi.
Sementara itu, Ketua Umum relawan Jokowi Mania, Andi Azwan, memuji langkah kepolisian sebagai bentuk profesionalisme dan tanggung jawab hukum terhadap penyebaran informasi yang dinilai menyesatkan publik.
Dinamika ini menampilkan dilema hukum antara perlindungan reputasi pejabat negara dan kebebasan berekspresi sebagai hak dasar. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kedua nilai tersebut seharusnya ditempatkan dalam keseimbangan proporsional. Namun, penegakan hukum yang menitikberatkan pada pendekatan pidana terhadap ekspresi publik sering kali justru mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, analisis terhadap kasus ini menjadi penting untuk menilai sejauh mana Polri menegakkan hukum sesuai prinsip konstitusi dan sejauh mana sistem hukum Indonesia siap menghadapi tantangan baru di era digital.
Konflik antara Hak Konstitusional dan Pendekatan Represif
Dalam perspektif hukum normatif, tindakan penyelidikan publik terhadap dokumen kenegaraan termasuk dalam kategori pelaksanaan hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28C, 28D, dan 28F UUD 1945. Hak tersebut meliputi kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan hak memperoleh serta menyampaikan informasi. Ketika negara mempidanakan tindakan warga yang melaksanakan hak-hak ini tanpa bukti adanya niat jahat (mens rea) yang jelas, maka negara berpotensi melanggar prinsip rule of law dan asas due process of law (Jimly Asshiddiqie, 2015).
Kasus ini menunjukkan bahwa penegakan hukum masih cenderung bersifat reaktif dan tidak mengindahkan prinsip proporsionalitas. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang sering digunakan untuk menjerat warga dengan tuduhan pencemaran nama baik, seharusnya diterapkan dengan pertimbangan konteks, motif, dan kepentingan publik dari suatu pernyataan. Dalam kasus Roy Suryo dkk, tidak terdapat indikasi niat jahat untuk merugikan pribadi Presiden, melainkan upaya akademik dan publik untuk menguji keabsahan dokumen kenegaraan. Oleh karena itu, tindakan tersebut seharusnya masuk dalam kategori protected expression yang dijamin oleh konstitusi.
Lebih lanjut, dalam konteks hukum internasional, kebebasan berekspresi juga dijamin oleh Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Prinsip ini mengharuskan negara untuk tidak melakukan pembatasan berlebihan terhadap kebebasan berpendapat, kecuali jika pembatasan tersebut memenuhi tiga syarat kumulatif: diatur oleh hukum (prescribed by law), diperlukan untuk tujuan sah (legitimate aim), dan proporsional dengan ancaman yang dihadapi (necessary and proportionate). Dalam kasus ini, pembatasan terhadap aktivitas penelitian dan ekspresi publik tidak memenuhi syarat ketiga, karena dampak sosialnya tidak sebanding dengan pembatasan terhadap hak dasar warga negara.
Secara institusional, Polri juga memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum secara profesional, proporsional, dan transparan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 13 UU tersebut menegaskan bahwa fungsi utama Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dengan demikian, Polri seharusnya bertindak sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga, bukan justru mengkriminalisasi tindakan yang berada dalam ruang perlindungan hukum.
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Penegakan Hukum
Solusi terhadap persoalan ini harus berangkat dari pemulihan prinsip dasar bahwa konstitusi menempati posisi tertinggi dalam tata hukum nasional. Konstitusi bukan sekadar sumber hukum formal, tetapi juga norma hidup yang membatasi kekuasaan negara. Oleh karena itu, setiap tindakan hukum, termasuk proses penyidikan, harus tunduk pada prinsip konstitusionalitas. Dalam konteks ini, constitutional compliance review dapat menjadi instrumen baru yang memastikan bahwa tindakan aparat penegak hukum tidak melanggar hak dasar warga negara.
Diperlukan pula reinterpretasi terhadap pasal-pasal karet dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), agar tidak digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi. Pendekatan yang lebih tepat adalah restorative justice, yakni penyelesaian berbasis pemulihan relasi sosial dan edukasi publik ketimbang hukuman pidana. Konsep ini telah diperkenalkan melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Namun, implementasinya perlu diperluas ke dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan ekspresi publik dan kritik terhadap pejabat negara.
Dalam kerangka kebijakan publik, reformasi sistem hukum juga perlu diarahkan untuk memperkuat legal consciousness aparat dan masyarakat. Pendidikan hukum konstitusional harus menjadi bagian dari kurikulum Polri dan lembaga penegak hukum lain agar setiap tindakan penyidikan mempertimbangkan implikasi hak asasi manusia. Selain itu, mekanisme public oversight atau pengawasan masyarakat perlu diperkuat melalui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia, yang dapat memantau dan mengevaluasi prosedur penyidikan yang menyentuh hak-hak konstitusional warga.
Reformasi Struktural dan Penguatan Akuntabilitas Polri
Penerapan solusi normatif di atas memerlukan langkah kebijakan konkret yang berorientasi pada reformasi kelembagaan. Pertama, perlu dibentuk Constitutional Safeguard Unit di bawah Kompolnas atau Dewan Pertimbangan Presiden yang bertugas memberikan telaah konstitusional terhadap kasus-kasus yang berpotensi melanggar hak dasar warga. Unit ini akan menjadi filter awal agar tindakan hukum tidak bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, Polri perlu memperkuat mekanisme internal human rights compliance assessment sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, terutama dalam kasus yang melibatkan ekspresi politik atau akademik. Proses ini dapat menjadi indikator objektif profesionalisme aparat penegak hukum di mata publik.
Ketiga, Presiden sebagai kepala pemerintahan harus memastikan bahwa reformasi penegakan hukum berjalan sejalan dengan prinsip demokrasi konstitusional. Arahan Presiden kepada Kapolri hendaknya mencerminkan tekad untuk menegakkan hukum tanpa menafikan kebebasan sipil. Selain itu, kebijakan komunikasi publik pemerintah perlu diarahkan pada penguatan kepercayaan terhadap hukum dan penghargaan terhadap kritik, bukan sebaliknya.
Keempat, kerja sama antara lembaga pendidikan hukum dan Polri perlu ditingkatkan melalui program riset bersama, pelatihan etika penegakan hukum, dan pengembangan modul kebebasan berekspresi dalam konteks digital. Polri harus dilihat bukan sebagai kekuatan koersif, melainkan sebagai pelindung demokrasi yang berfungsi menjaga keutuhan hak-hak dasar warga negara.
Hak Tidak Dapat Dikriminalisasi
Kasus kriminalisasi warga dalam perkara tudingan ijazah palsu Presiden RI menunjukkan perlunya reformasi mendasar dalam paradigma penegakan hukum nasional. Ketika warga negara yang meneliti dan mengkritisi dokumen publik dikriminalisasi, maka hal itu menandai kemunduran dalam demokrasi konstitusional. Prinsip utama yang harus ditegaskan adalah bahwa hak tidak dapat dikriminalisasi; apa yang dilindungi oleh konstitusi tidak boleh menjadi objek pidana.
Negara hukum yang sejati tidak diukur dari seberapa keras ia menghukum, melainkan dari seberapa adil ia melindungi. Oleh karena itu, supremasi konstitusi harus ditegakkan sebagai roh hukum nasional, dan Polri sebagai lembaga penegak hukum harus menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak dasar warga negara. Reformasi hukum di era demokrasi digital harus diarahkan bukan untuk membungkam kritik, melainkan untuk memperkuat partisipasi publik dan memperluas ruang kebebasan yang bertanggung jawab.
Dr. Surya Wiranto, SH MH
(Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. )
