GELORA.CO - Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menjelaskan terkait lamanya proses penyidikan dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Irjen Asep Edi menyebut hal tersebut disebabkan oleh banyaknya barang bukti digital yang harus diperiksa.
"Terus terang saja, banyak sekali item barang bukti digital forensik yang diperlukan oleh kita. Pemeriksaan itu tidak cepat, pasti membutuhkan waktu yang lama," katanya, dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
"Untuk itu, karena pemeriksaan dari hasil digital forensik, dari labfor, laboratorium forensik, dan juga digital forensik itu baru selesai dalam waktu minggu-minggu kemarin. Sehingga kita bisa menetapkan sesuai dari apa yang menjadi hasil pemeriksaan," sambung dia.
Penetapan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini diambil setelah penyidik menemukan ratusan barang bukti yang dinilai menguatkan bahwa ijazah Jokowi sah dan diterbitkan secara resmi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Asep Edi menjelaskan, penyidik telah menyita 723 item barang bukti, termasuk dokumen asli dari UGM yang membuktikan keabsahan ijazah Jokowi.
Dokumen itu juga telah melalui pemeriksaan laboratorium forensik, baik dari aspek analog maupun digital.
“Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan Puslabfor Polri, ijazah yang dipersoalkan adalah asli dan sah. Temuan ini diperkuat dengan data digital yang menunjukkan adanya manipulasi dan editan pada dokumen yang disebarkan para tersangka,” ujar Irjen Asep.
Menurutnya, para tersangka terbukti menyebarkan tuduhan palsu mengenai keaslian ijazah Jokowi dengan menggunakan analisis tidak ilmiah, yang pada akhirnya menyesatkan dan meresahkan masyarakat.
“Penyidik menemukan adanya upaya sistematis untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi palsu yang menyerang kehormatan seseorang, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia,” kata Asep.
Dalam kasus tersebut, penyidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya membagi delapan tersangka dalam dua kluster.
Kluster pertama terdiri atas lima orang yakni Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana (ES), anggota TPUA Kurnia Tri Royani (KTR).
Lalu pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik Damai Hari Lubis (DHL), mantan aktivis '98 Rustam Effendi (RE), Wakil Ketua TPUA Muhammad Rizal Fadillah (MRF)
Klaster kedua yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo (RS), ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar (RHS), dan dokter Tifauzia Tyassuma (TT) alias dr Tifa.
Kelima orang dijerat dengan Pasal 310 dan/atau 311 dan/atau 160 KUHP, serta Pasal 27A Jo. Pasal 45 ayat 4 dan/atau Pasal 28 ayat 2 Jo. Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sementara itu, kluster kedua dikenakan pasal serupa, dengan tambahan Pasal 32 ayat 1 Jo. Pasal 48 ayat 1 dan Pasal 35 Jo. Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang ITE karena diduga melakukan manipulasi digital terhadap dokumen ijazah.
Asep menegaskan, langkah hukum ini merupakan upaya menjaga keadilan serta memastikan bahwa ruang digital tidak menjadi tempat penyebaran fitnah dan disinformasi.
“Kami ingin menegaskan bahwa kebebasan berpendapat tidak boleh digunakan untuk menyerang kehormatan orang lain dengan cara-cara yang tidak benar dan tidak berdasar,” ujarnya
Sumber: Wartakota
