OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
PEMBERIAN rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Ira Puspa Dewi -mantan Direktur Utama ASDP yang telah dijatuhi hukuman dalam perkara dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara- menjadi preseden yang mengguncang fondasi sistem hukum Indonesia. Langkah ini menciptakan kegelisahan mendalam tentang batas kewenangan eksekutif dan ancaman terhadap prinsip transparansi hukum dalam negara demokrasi.
Pertanyaannya sederhana namun menentukan arah masa depan ketatanegaraan: apakah tindakan tersebut merupakan penggunaan kewenangan konstitusional yang sah, atau justru bentuk intervensi kekuasaan yang menggerogoti independensi peradilan?
Secara normatif, rehabilitasi diatur dalam Pasal 97–99 KUHAP, yang menegaskan bahwa rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang yang secara hukum diputus tidak bersalah atau dinyatakan tidak terbukti secara sah sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Rehabilitasi tidak dimaksudkan sebagai instrumen politis atau kebijakan diskresi presiden untuk menegasikan putusan pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, pemberian rehabilitasi terhadap terpidana yang telah dinyatakan bersalah -tanpa pembatalan putusan melalui mekanisme PK atau kasasi- dapat dipandang sebagai penyimpangan terhadap asas hukum yang fundamental.
Dalam perspektif separation of powers, tindakan Presiden berpotensi melampaui batas kewenangan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 telah menegaskan bahwa kewenangan Presiden dalam pemberian grasi dan abolisi harus ditempatkan dalam kerangka penghormatan terhadap independensi kekuasaan kehakiman, bukan sebaliknya. Jika grasi saja dibatasi agar tidak merusak supremasi hukum, maka pemberian rehabilitasi yang memiliki dampak serupa terhadap otoritas putusan pengadilan semestinya tunduk pada prinsip yang sama.
Krisis transparansi hukum tampak semakin nyata ketika keputusan rehabilitasi diduga dilakukan tanpa membuka fakta hukum baru yang substansial dan diuji secara terbuka. Padahal, sistem hukum modern menuntut akuntabilitas dan keterbukaan sebagai prasyarat legitimasi. Ketika eksekutif dapat memulihkan status hukum seseorang yang telah terbukti merugikan negara tanpa proses koreksi yudisial, negara hukum terancam berubah menjadi negara kekuasaan -di mana keputusan tidak lagi berdasar logika hukum, melainkan preferensi politik dan kedekatan kekuasaan.
Preseden semacam ini menuju jurang bahaya: memunculkan asumsi bahwa para pelaku kejahatan korporasi dan korupsi dapat berharap pada pengampunan politik alih-alih pertanggungjawaban yuridis. Sejarah yurisprudensi Indonesia menunjukkan pelajaran penting -melalui Putusan MA No. 153 K/Pid/2017 yang menegaskan bahwa kejahatan merugikan keuangan negara adalah delik kepentingan publik yang tidak boleh tunduk pada kompromi kekuasaan. Ketika keputusan rehabilitasi menghapus stigma hukum tanpa menghapus kesalahan materiil, publik berhak mempertanyakan arah moral bangsa.
Dalam konteks ini, rehabilitasi yang diberikan bukan sekadar keputusan administratif, tetapi tindakan yang berpotensi melemahkan kepercayaan publik, mencederai asas equality before the law, dan meruntuhkan transparansi hukumnya sendiri. Jika pemulihan nama baik dilakukan tanpa landasan putusan pengadilan yang membebaskan, maka prosedur hukum bukan lagi instrumen keadilan, melainkan formalitas yang dapat dinegosiasikan.
Pada akhirnya, supremasi hukum bukan diukur melalui kekuatan hukuman, tetapi kemampuan sistem peradilan menolak intervensi kekuasaan. Negara hukum runtuh bukan karena kekurangan aturan, tetapi karena ketertutupan proses dan kompromi terhadap asas. Rehabilitasi yang tidak melalui proses peradilan yang transparan adalah peringatan keras bagi demokrasi: ketika hukum tak lagi menjadi jangkar kebenaran, maka kekuasaanlah yang menjadi hakim.
Dan ketika kekuasaan menjadi hakim, maka sejarah telah berulang -bukan sebagai tragedi, melainkan sebagai ironi.
*(Penulis adalah advokat/pendiri RECHT Institute)
