Oleh:Moh. Hasan
DI Sibolga, seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya (21) menghembuskan napas terakhirnya di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman -- masjid. Ia tewas dikeroyok lima orang di teras Masjid Agung Sibolga, Jumat dini hari, 31 Oktober 2025.
Padahal, menurut penjelasan kepolisian, tidak ada aturan yang melarang seseorang beristirahat di area masjid, apalagi di teras yang bukan ruang salat utama. Kata polisi juga, Arjuna bahkan sempat meminta izin kepada salah satu pelaku, namun ditolak.
Ia tetap memilih istirahat di sana, mungkin karena sudah terlalu lelah. Tapi bukannya diberi tempat atau air minum, justru ia dihajar beramai-ramai oleh lima orang yang mengaku “menjaga kehormatan masjid."
Jahatnya lagi, bukan hanya tega merenggut nyawa Arjuna. Bahkan salah satu pelaku sempat mengambil uang Rp10 ribu dari kantong korban. Tragedi malam itu, bukan cuma Arjuna yang kehilangan hidupnya, tapi juga telah hilang rasa kemanusiaan dan keimanan di dada orang-orang yang memukulnya.
Tragedi ini bukan sekadar berita kriminal. Ini hantaman keras buat nurani setiap pribadi yang menyebut dirinya manusia.
Tempat yang seharusnya menjadi sumber kedamaian malah berubah jadi lokasi kekerasan. Sungguh ironis.
Masjid di Zaman Nabi, Rumah bagi Semua
Mengintip kembali kehidupan masjid di zaman Rasulullah, melalui tausiah Gus-Gus, Pak Ustaz dalam ceramahnya di atas mimbar. Dikatakan di masa Rasulullah, masjid bukan sekadar tempat ibadah salat. Masjid itu dulu sekaligus menjadi pusat kehidupan umat. Dari Masjid Nabawi di Madinah, Nabi membangun hubungam masyarakat yang beradab, inklusif, dan penuh kasih.
Masjid kala itu menjadi tempat berlindung bagi musafir dan fakir miskin. Banyak sahabat yang hidup sebatang kara tinggal di Shuffah -- bagian belakang masjid yang disediakan khusus bagi mereka yang tak punya rumah. Mereka tidur, makan, dan belajar di sana. Tidak ada yang diusir, apalagi dipukul. Masjid dan areanya sungguh menjadi kawasan yang aman dan menenangkan.
Masjid juga menjadi pusat musyawarah umat, tempat membicarakan strategi pemerintahan, ekonomi, sosial, hingga pendidikan. Di sana pula Nabi menyambut tamu dari berbagai kabilah, bahkan dari agama lain. Mereka duduk berdampingan, berdialog dalam suasana damai.
Masjid bukan hanya tempat sujud, melainkan implementasi keterbukaan, kasih, dan rahmat bagi seluruh alam. Maka, jika hari ini ada makhluk Tuhan yang kehilangan nyawa di teras masjid karena dianggap “mengganggu,” sepatutnya setiap pribadi yang masih yakin dirinya adalah "khalifah fil ardli," berani bertanya, “Apakah masjid sekarang masih meneladani masjid Rasulullah, atau justru menjauh dari semangatnya?”
Masjid Hari Ini, Masih Milik Umat atau Milik Segelintir Orang?
Di masa sekarang, orang bisa dengan mudah menjumpai bangunan masjid. Di banyak tempat, masjid berdiri dengan arsitektur megah, kubahnya berlapis emas, lantainya marmer, ruangannya berpendingin menggunakan AC. Tapi sayang, seringkali pintu-pintunya tergembok rapat setelah salat usai.
Kadang-kadang ada anak-anak muda yang ingin beriktikaf dilarang masuk. Musafir yang hendak beristirahat diusir. Orang miskin tak berani datang kecuali di waktu salat.
Seolah-olah, masjid hanya milik “kaum tertentu,” para tokoh, insan yang "terlihat saleh," dan pengurus yang merasa berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh mendekat.
Padahal, kebanyakan uang pembangunan masjid berasal dari urunan umat, dari keringat pedagang kecil, tangan kasar petani, jerih payah otot betis tukang becak, dan donatur yang berharap masjid menjadi tempat yang hidup dan menenangkan. Oh ya, hampir lupa, mungkin ada juga uang pemberian Pak Ustaz dan Gus.
Tapi ironinya, setelah masjid berdiri megah, bangunan itu berubah menjadi simbol eksklusivitas, bukan rumah Tuhan yang terbuka, melainkan simbol gengsi sosial, yang membatasi siapa boleh datang dan siapa tidak.
Masjid Ruang Kontemplasi Semua Kalangan, Pengurus dan Jemaah
Masjid seharusnya menjadi taman pertumbuhan peradaban dan kesejukan jiwa, bukan sekadar bangunan megah yang hampa makna. Tugas utama pengurus masjid bukan hanya menjaga kebersihan lantai atau jadwal imam, tetapi menjaga kemanusiaan dan kasih sayang yang hidup di dalamnya.
Seorang musafir yang tidur di teras masjid tidak akan mencoreng kehormatan rumah Allah. Justru ia sedang mengingatkan kembali akan hakikat masjid sebagai tempat singgah bagi siapa saja yang ingin dekat kembali kepada Tuhan di tengah penatnya hidup.
Menjaga ketertiban itu penting, iya. Tapi menjaga dengan akal sehat dan hati yang lembut, bukan dengan tangan yang kasar. Karena yang perlu diamankan bukan hanya marmer masjid, tapi akhlak umat di dalamnya.
Masjid Potret Akhlak Umat
Masjid adalah potret dari kondisi umat. Kalau masjidnya hangat dan ramah, berarti masyrakatnya penuh kasih. Tapi jika masjidnya berubah menjadi tempat yang menyebabkan orang takut singgah, maka yang mati bukan hanya Arjuna Tamaraya, melainkan ada nilai keimanan dan kemanusiaan yang tidak baik-baik saja terjadi di sekitar.
Tragedi di Sibolga seharusnya menggugah setiap pengurus masjid, tokoh agama, dan jamaah untuk kembali menelusuri makna sejati masjid dalam sejarah Islam. Masjid bukan benteng, bukan tempat membedakan siapa suci dan siapa kotor, tapi rumah bagi setiap hati yang mencari ketenangan dan kemurnian.
Menghadirkan Kembali Roh Masjid
Sekarang teknologi makin canggih, hiburan makin banyak, dan orang makin sibuk. kalau bioskop dan tempat hiburan bisa membuat orang rela mengantre, mengapa masjid tak bisa membuat orang candu dan rindu datang ke sana?
Menandingi kenyataan itu, masjid perlu beradaptasi dengan zaman: ramah anak muda, terbuka buat musafir, nyaman buat lansia, dan aman buat siapa pun yang datang. Sudah saatnya bisa menghadirkan kembali ruh masjid seperti di jaman Rasulullah, tempat yang terbuka, ramah, dan penuh cinta.
Kalau suatu hari nanti ada orang yang kelelahan dan tertidur di teras masjid, semoga bukan lagi pentungan, tinju, dan tendangan yang menyambutnya, melainkan senyum tulus dan segelas air hangat. Karena di situlah keindahan Islam yang sesungguhnya, rahmatan lil ‘alamin -- rahmat bagi seluruh alam.
(Wartawan RMOLJatim )
