GELORA.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan belum menemukan adanya dugaan aliran uang hasil pemerasan Gubernur Riau Abdul Wahid senilai Rp 7 miliar mengalir ke PKB. Aliran uang itu ditelurusi, mengingat Abdul Wahid merupakan Ketua DPW PKB Provinsi Riau.
"Sejauh ini belum ada aliran ke partai. Tidak ada. Masih pemeriksaan awal," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Ia mengungkapkan, memang terdapat aliran uang senilai Rp 2 miliar yang disimpan tenaga ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam, yang juga merupakan kader PKB. Namun, berdasarkan keterangan awal belum menemukan indikasi aliran uang mengalir ke partai yang menaungi pihak-pihak tersebut.
"Sekitar 2 miliaran lebih itu, itu di pool-nya di tenaga ahlinya, namanya saudara DAN. Jadi di sana pool-nya. Jadi tidak ada keterangan yang menyatakan itu digunakan ke partai," ujarnya.
Meski demikian, Asep memastikan bakal mendalami aliran uang dugaan pemerasan Gubernur Riau dalam kenaikan anggaran Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau untuk proyek pembangunan jalan dan jembatan tersebut.
"Yang didalami perkaranya," tegasnya.
Sebelumnya, resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Penetapan tersangka ini terhadap Abdul Wahid setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Senin (3/11).
Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) M. Arief Setiawan; serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menjelaskan, kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti melalui kegiatan penyelidikan hingga berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Riau.
Tanak memaparkan, praktik suap itu bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, menggelar pertemuan dengan enam Kepala UPT Wilayah I–VI di salah satu kafe di Pekanbaru.
Dalam pertemuan tersebut, para peserta membahas kesanggupan memberikan fee yang akan disetorkan kepada Abdul Wahid sebagai imbalan atas penambahan anggaran tahun 2025.
“Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP,” ucap Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan bahwa anggaran program pembangunan jalan dan jembatan itu mengalami lonjakan signifikan sebesar 147 persen, dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Setelah pertemuan awal, Ferry kemudian melapor kepada Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, mengenai kesanggupan memberikan fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek.
Namun, Arief yang diduga mewakili Abdul Wahid menolak besaran tersebut dan meminta peningkatan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar
MAS (Muhammad Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar,” ungkap Tanak.
Menurutnya, Abdul Wahid juga menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaan tersebut dipenuhi. Melalui Arief, Abdul Wahid mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut.
“Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’," tegasnya.
Tak lama kemudian, Sekretaris Dinas bersama seluruh Kepala UPT kembali menggelar pertemuan dan menyepakati besaran fee untuk Gubernur sebesar 5 persen.
Sumber: jawapos
