GELORA.CO - Kelompok BonJowi atau Bongkar Ijazah Jokowi, resmi mengajukan sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta Pusat, Senin, 17 November 2025.
Gugatan ini dilayangkan terhadap lima badan publik untuk menuntut keterbukaan dokumen akademik Presiden Joko Widodo.
Kelima lembaga yang digugat adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.
Sengketa ini diajukan setelah permintaan informasi sejak Juli 2025 dinilai tidak mendapat tanggapan memadai.
“KPU RI dan DKI mengabulkan sebagian, UGM dan KPU Surakarta tidak memberikan, Polda Metro tidak menanggapi,” tulis BonJowi dalam keterangan resmi.
Sorotan Kejanggalan pada Salinan Ijazah
Tim BonJowi mengungkap temuan dari tiga salinan legalisir ijazah yang digunakan Jokowi untuk pencalonan Gubernur DKI 2012, Capres 2014, dan Capres 2019.
Poin kejanggalan yang mereka temukan adalah adanya perbedaan warna cap legalisir antara dokumen 2012, 2014 dan 2019.
Kemudian tidak adanya tanggal, bulan, dan tahun legalisasi pada ketiga salinan. Lalu adanya perbedaan posisi cap legalisir di tiap dokumen.
“Apakah UGM benar menggunakan tinta merah untuk legalisir? Itu tidak lazim untuk dokumen resmi,” ujar tim.
Majelis Soroti SOP Legalisasi: UGM Akui Tidak Ada SOP pada Era Jokowi Kuliah
Dalam persidangan, Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, langsung menyoroti keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) legalisasi ijazah pada periode Jokowi kuliah pada 1980–1985, hingga momen pencalonan presiden.
“SOP dan aturan legalisasi ijazah pada masa permintaan legalisasi?” tanya Rospita.
“Enggak ada,” jawab perwakilan UGM.
UGM menyampaikan bahwa Jokowi memang pernah mengajukan legalisasi ijazah, namun kampus tidak memiliki SOP tertulis pada masa tersebut.
Aturan akademik disebut hanya berbentuk buku panduan, bukan format prosedural baku sebagaimana SOP modern.
“Kalau SOP ya, SOP dalam artian prosedural seperti sekarang itu memang tidak ada pada zaman itu. Proses aturannya dalam bentuk buku panduan, tapi memang tidak spesifik menjelaskan hal yang diminta pemohon,” ujar perwakilan UGM.
Majelis kemudian meminta penjelasan isi buku panduan itu. Namun jawaban perwakilan kampus dinilai belum memberikan gambaran lengkap.
“Dari yang beberapa ini, apa yang ada di dalam buku panduan itu? Misalnya terkait masa studi, ada enggak? Aturan DO?” tanya Rospita.
“Untuk di dalam buku panduan itu terkait kurikulum ada,” jawab UGM.
Ketika ditanya mengenai aturan Kuliah Kerja Nyata (KKN), pihak UGM kembali tidak memberikan kepastian.
“Untuk KKN, dari kami belum bisa memastikan karena itu yang menguasai adalah fakultas,” kata perwakilan kampus.
Majelis kemudian menyinggung aturan penanganan data akademik pada era tersebut. Pertanyaan ini kembali dijawab dengan ketidakjelasan.
“Aturan sidang kurang tahu juga karena itu. Kalau untuk penanganan data akademik ini kayaknya enggak ada ya,” ucap perwakilan UGM.
Sidang akhirnya menyimpulkan bahwa SOP legalisasi ijazah untuk periode 1980–1985 memang tidak ada dalam bentuk yang dibutuhkan pemohon.
“Iya, kalau yang bentuknya SOP enggak ada,” tutup perwakilan UGM.
Bukan Soal Palsu atau Asli, Tapi Hak Publik atas Dokumen Akademik
Jurnalis senior Lukas Luwarso menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk mendikotomikan isu ijazah asli atau palsu.
“Kita ingin membuktikan melalui UU KIP bahwa ada jalan yang elegan dan berbasis bukti,” ujar Lukas Luwarso.
Sementara itu, Ahmad Akhyar Muttaqin mengatakan persoalan ini berkaitan dengan hak hukum atas dokumen tersebut.
“Pertanyaannya bukan hanya asli atau palsu, tapi apakah yang bersangkutan berhak secara hukum atas dokumen itu,” ujarnya.
Kuasa hukum BonJowi, Petrus Celestinus, menilai bahwa ijazah yang digunakan untuk jabatan publik tidak bisa ditutup-tutupi dengan alasan data pribadi.
“Masyarakat punya hak untuk mengetahui. Jangan sampai Komisi Informasi tersandera oleh kepentingan dalam kasus ijazah ini,” katanya.
Majelis memutuskan sengketa dilanjutkan ke Ajudikasi. UGM diwajibkan melakukan uji konsekuensi dalam dua minggu untuk membuktikan dasar pengecualian informasi akademik yang mereka klaim sebagai rahasia.
Sementara KPU RI, KPU DKI, KPU Surakarta, diarahkan ke mediasi, karena sebagian informasi dinyatakan dapat diberikan atau telah diberikan sebelumnya.
Sumber: konteks
.jpg)