Putra Mahkota Saudi Pangeran MBS Terima Surat dari Presiden Iran Sehari Sebelum Berangkat ke AS

Putra Mahkota Saudi Pangeran MBS Terima Surat dari Presiden Iran Sehari Sebelum Berangkat ke AS

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Putra Mahkota Saudi Pangeran MBS Terima Surat dari Presiden Iran Sehari Sebelum Berangkat ke AS

GELORA.CO - 
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menerima surat dari presiden Iran. Kantor berita pemerintah Saudi, SPA, melaporkan Pangeran MBS menerima surat dari Presiden Masoud Pezeshkian sehari sebelum kunjungan penguasa de facto Saudi tersebut ke AS. Kunjungan Pangeran MBS untuk berunding dengan Presiden Donald Trump.

Kantor berita pemerintah tersebut tidak menjelaskan isi surat tersebut atau apakah surat tersebut terkait dengan kunjungan ke AS.

Namun, Surat ini menunjukkan hubungan kedua negara yang intens berkomunikasi.  Surat dari Iran juga bukanlah pertama kali. Pada 2023, pemerintah Iran mengirim surat ditujukan kepada Raja Saudi Salman dan Pangeran MBS terkait kerja sama kedua negara. 

Tidak menutup kemungkinan surat itu juga terkait dengan kunjungan Pangeran MBS ke AS.  Selama ini Iran terus mendapatkan tekanan dari Paman Sam, dari mulai sanksi ekonomi hingga persoalan nuklir. 

Seperti dilansir laman Reuters, Pangeran MBS diyakini berbicara dengan Presiden AS Donald Trump untuk memperdalam kerja sama yang telah terjalin selama puluhan tahun di bidang minyak dan keamanan. Saudi diyakini juga ingin memperluas hubungan di bidang perdagangan, teknologi, dan, berpotensi, energi nuklir.

Ini akan menjadi kunjungan pertama Putra Mahkota Mohammed bin Salman ke AS sejak pembunuhan kritikus Saudi, Jamal Khashoggi, oleh agen-agen Saudi pada tahun 2018, yang memicu kegemparan global. Intelijen AS menyimpulkan bahwa MBS menyetujui penangkapan atau pembunuhan Khashoggi, seorang kritikus terkemuka.

MBS membantah telah memerintahkan operasi tersebut tetapi mengakui tanggung jawabnya sebagai penguasa de facto kerajaan.

Bergerak maju


Lebih dari tujuh tahun kemudian, ekonomi terbesar di dunia dan produsen minyak terbesar di dunia ingin bergerak maju. Trump berupaya menagih janji investasi Saudi senilai $600 miliar yang disampaikannya saat kunjungan Trump ke kerajaan tersebut pada bulan Mei.

Ia enggan menyinggung isu hak asasi manusia selama kunjungan tersebut.

Sementara pemimpin Saudi tersebut mengupayakan jaminan keamanan di tengah gejolak regional dan menginginkan akses ke teknologi kecerdasan buatan serta kemajuan menuju kesepakatan program nuklir sipil.

Berbicara kepada wartawan pada Senin, Trump mengonfirmasi bahwa ia berencana untuk menyetujui penjualan jet tempur F-35 canggih buatan AS ke Arab Saudi yang telah diupayakan oleh kerajaan tersebut. "Saya akan mengatakan bahwa kami akan melakukannya," ujarnya menjawab pertanyaan.

Penjualan semacam itu akan menandai perubahan kebijakan yang signifikan, yang berpotensi mengubah keseimbangan militer di Timur Tengah.

Penjualan ini juga akan menguji definisi Washington tentang komitmen jangka panjang mempertahankan apa yang disebut AS sebagai "keunggulan militer kualitatif" Israel atas negara-negara tetangganya. AS menjadi pemasok utama F-35 Israel. 

Fokus pada kesepakatan pertahanan


Amerika Serikat dan Arab Saudi telah lama bersepakat agar kerajaan menjual minyak dengan harga yang menguntungkan dan agar negara adidaya tersebut menyediakan keamanan sebagai gantinya.

Namun kekhawatiran muncul pada September, ketika Israel menyerang Doha, Qatar.

Banyak analis, diplomat, dan pejabat regional yakin Saudi akan mengupayakan pakta pertahanan yang diratifikasi oleh Kongres AS dalam negosiasi baru-baru ini. Meski, Washington telah menetapkan syarat yakni kerajaan tersebut mesi menormalisasi hubungan dengan Israel. Saudi menolak melakukan normalisasi sampai Palestina merdeka. 

"Trump menginginkan normalisasi (Saudi dengan Israel) dan Arab Saudi menginginkan pakta pertahanan penuh, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Pada akhirnya, kedua belah pihak kemungkinan tidak akan mendapatkan semua yang diinginkan. Itulah diplomasi."

Dennis Ross, mantan negosiator Timur Tengah untuk pemerintahan Demokrat dan Republik yang kini bekerja di Washington Institute for Near East Policy, mengatakan ia memperkirakan akan ada perintah eksekutif yang akan meminta AS dan Saudi untuk segera berkonsultasi tentang apa yang harus dilakukan dalam menanggapi ancaman . Meski sepertinya konsultasi itu tanpa mewajibkan Washington untuk secara aktif membela Riyadh.

"Hal itu bisa berupa pemberian berbagai bantuan, penggantian senjata, pengerahan baterai rudal defensif seperti THAAD atau Patriot, pengerahan pasukan angkatan laut dengan unit Marinir, hingga partisipasi aktif dalam pertempuran dengan cara ofensif, bukan hanya defensif," ujarnya.

Kesepakatan penting di tengah persaingan regional


Riyadh juga telah mendesak kesepakatan di bidang energi nuklir dan kecerdasan buatan dalam rencana Visi 2030 yang ambisius untuk mendiversifikasi ekonominya dan memperkuat posisinya relatif terhadap para pesaing regional.

Mendapatkan persetujuan untuk memperoleh chip komputer canggih akan sangat penting bagi rencana kerajaan untuk menjadi simpul pusat dalam AI global dan untuk bersaing dengan Uni Emirat Arab. Abu Dhabi pada Juni menandatangani kesepakatan pusat data senilai miliaran dolar AS yang memberinya akses ke chip kelas atas.

MBS juga ingin mencapai kesepakatan dengan Washington mengenai pengembangan program nuklir sipil Saudi, sebagai bagian dari upayanya untuk melakukan diversifikasi dari minyak.

Kesepakatan semacam itu akan membuka akses ke teknologi nuklir AS dan jaminan keamanan, serta membantu Arab Saudi sejajar dengan UEA, yang memiliki program nuklir sendiri, dan musuh bebuyutannya, Iran.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita