Dengan Alasan Ba-Bi-Bu, Sri Mulyani Jelaskan Keberpihakan RUU HPP yang Disepakati DPR

Dengan Alasan Ba-Bi-Bu, Sri Mulyani Jelaskan Keberpihakan RUU HPP yang Disepakati DPR

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mendapat persetujuan DPR mulai dikritisi banyak pihak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, angkat bicara terkait hal ini.

Sri Mulyani mengatakan, RUU HPP yang disepakati Komisi XI DPR RI dalam rapat kerja bersama tertutup di Parlemen memiliki tujuan yang dia klaim mulia.



Dengan memaparkan berbagai alasan, Sri Mulyani menyatakan keberpihakan RUU HPP adalah untuk Bangsa Indonesia, khususnya dalam hal kesejahteraan dan perkembangan usaha kecil dan menengah (UKM).

"Saya minta supaya pelaksanaan RUU HPP dapat dilaksanakan dengan semaksimal mungkin dan bermanfaat bagi Indonesia," ujar Sri Mulyani dalam acara pelantikan pejabat Kementerian Keuangan secara virtual di Jakarta, Senin (4/10).

Ba-bi-bu lainnya yang disampaikan Sri Mulyani, untuk menegaskan keberpihakan RUU HPP adalah untuk kesejahteraan masyarakat, adalah karena alasan pembangunan sistem administrasi perpajakan.

Menurutnya, dengan disepakatinya RUU HPP oleh DPR ada upaya membangun sistem administrasi perpajakan yang efisien, dan sekaligus menghindarkan masalah-masalah yang bisa menggerus potensi penerimaan pajak.

Ditambah lagi, Sri Mulyani menyatakan bahwa reformasi kebijakan sangat diperlukan di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, guna mencegah terjadinya hal-hal yang memperburuk upaya pemulihan ekonomi nasional.

"Covid-19 menyebabkan kita berubah secara nyata. Maka dari itu, kita harus bisa menggunakan kesempatan yang muncul untuk mendorong Indonesia menuju cita-citanya," demikian Sri Mulyani.

Terkait dengan RUU HPP ini, pengamat kebijakan publik, Said Didu, mengkritik soal satu hal yang diatur di dalamnya. Yaitu kenaikan tarif PPN yang disepakti DPR sebesar 11 persen pada tahun 2022, dan akan naik 1 persen setiap tahunnya hingga 2025 mendatang.

Said Didu menduga, kenaikan tarif pajak tersebut bakal dipakai pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang belum tuntas hingga kini, yaitu utang pemerintah yang sudah hampir menyentuh angka Rp 7.000 triliun.

"Semua kegiatan kenaikan harga yang terjadi adalah untuk membayar utang. Meningkatkan penerimaan negara untuk membayar utang," ujar Said Didu dalam kanal Youtubenya, yang dikutip Senin dini hari (4/10).

Di rezim Presiden Joko Widodo sekarang ini, Said Didu tidak melihat strategi ciamik ditelurkan jajaran kabinet Indonesia Maju. Justru, tanggungan utang pemerintah dibebani kepada masyarakat.

"Kalau dulu kita membayar pajak untuk perbaikan irigasi, jalan, gedung SD, penambahan puskesmas, kalau sekarang ini dipakai bayar utang," tuturnya.

Lebih dari itu, mantan Sekretaris Menteri BUMN ini beranggapan kebijakan yang dibuat pemerintah soal perpajakan justru memperlihatkan kebuntuan solusi pemerintah menyelesaikan masalah utang.

"Saya lihat ternyata masyarakat dipaksa, dibuka/dikorek dompetnya oleh negara untuk membayar utang. Jadi saya lihat sekarang ini sudah sampai pada hanya dompet rakyat yang siap menyelamatkan negara dari jebakan utang," demikian Said Didu. (RMOL)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA