Tidak Lolos Wawasan Kebangsaan Kok Jadi Anggota Polri

Tidak Lolos Wawasan Kebangsaan Kok Jadi Anggota Polri

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

Menjadikan 56 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai anggota Polri itu aneh. Jangan pernah lupa, ada salah satu tahapan seleksi seseorang bisa menjadi anggota Polri, yaitu tes mental ideologi. Tes ini mengukur mental serta wawasan kebangsaan bagi para calon abdi negara.

Ada serangkaian tes mulai dari administrasi hingga pantukhir untuk menjadi anggota TNI maupun Polri. Sebelum pantukhir (penilaian panitia penentu akhir), seseorang peserta seleksi harus melewati banyak tahapan, dari administrasi, psikologi, jasmani, hingga mental ideologi. Kurang lebih demikian. Intinya adalah ada tes wawasan kebangsaan dalam tahapan itu.

Kita coba melihat lagi persyaratan untuk menjadi anggota Polri. Saya kutip dari website resmi polri.go.id, ada delapan poin persyaratan umum. Salah satunya berbunyi, “Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Itu persyaratan umum yang artinya administratif. Penyaringan tahap pertama sudah jelas tertulis bahwa calon anggota Polri harus setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Bukankah itu yang selama ini ‘dipermasalahkan’ kepada 56 pegawai KPK melalui dalih TWK sehingga tidak bisa diangkat menjadi aparatur sipil Negara (ASN) di KPK?

Lantas mengapa sekarang ajakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dianggap sebagai jalan tengah atas persoalan ramai-ramai ini? Kita coba lihat lagi pernyataan Kapolri Sigit.

56 pegawai yang dipecat dari KPK efektif per 30 September 2021 dinilai memiliki pengalaman yang dibutuhkan Polri untuk memperkuat divisi penanganan korupsi. Kapolri juga mengaku sudah meminta izin resmi terkait ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden, kata Kapolri, menyetujui usulannya itu.

Jenderal polisi bintang empat ini menyebut Bareskrim Polri sedang membutuhkan personel yang memenuhi kualifikasi pemberantasan korupsi. 56 pegawai KPK itu dianggap cocok dan mumpuni untuk mengisi divisi pemberantasan korupsi di Bareskrim Polri.

Kita coba runut. 56 pegawai diberhentikan dari KPK karena tidak lolos TWK. Mereka tidak masuk dalam bagian pegawai yang diangkat menjadi ASN berdasarkan UU KPK yang baru atau pascarevisi. Mereka lantas dipecat per 30 September 2021 dari KPK.

Berbagai upaya ditempuh para pegawai yang tidak lolos TWK ini, termasuk para aktivis pendukungnya. Upaya itu mulai dari mengadu ke Ombudsman, Komnas HAM, hingga gugatan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Semuanya kandas. Saya sebut kandas karena rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM juga tak jelas di mana sekarang.

Maka muncul kemudian tawaran Kapolri Sigit. 56 pegawai KPK yang dipecat, Novel Baswedan cs, diajak untuk menjadi bagian dari Polri alias menjadi ASN dan menempati divisi penanganan korupsi. Rekam jejak mereka dianggap bisa membantu Polri memberantas korupsi. Kapolri menganggap itu sangat bermanfaat untuk memperkuat jajaran organisasi Polri.

Pertanyaan besarnya adalah, apa beda keberadaan 56 pegawai tak lolos TWK itu di KPK dengan di Polri? Toh secara substansi, tenaga dan pikiran mereka sama-sama diberdayakan untuk memberantas korupsi di Tanah Air.

Jika pertanyaan ini tak bisa dijawab secara lugas dan transparan, jangan berharap jalan tengah. Karena menempatkan mereka di kepolisian juga berarti negara mengingkari apa yang mereka lakukan terhadap seleksi pegawai KPK untuk dijadikan ASN. Mengapa demikian?

Jika 56 pegawai KPK tak lolos TWK ini dijadikan anggota Polri, apa jadinya sistem rekrutmen di kepolisian. Masuk menjadi anggota Polri juga menyaratkan hal yang sama, yakni seperti apa yang dilakukan KPK sebelum mengangkat pegawainya menjadi ASN. Dan 56 pegawai KPK tidak lolos karena itu.

Menurut hemat saya, menjadikan 56 pegawai KPK sebagai anggota Polri bukanlah solusi, bukan pula jalan tengah. Jika negara masih membutuhkan tenaga mereka untuk memberantas korupsi, ya angkat saja mereka menjadi ASN KPK. Bukan menjadikan mereka ASN Polri, karena itu juga menyalahi aturan rekrutmen di Polri sendiri.

Jika semangatnya adalah memberantas korupsi, tidak ada alasan untuk tidak tetap menempatkan 56 pegawai itu di KPK. Itulah jalan tengah. Bukan dengan menempatkan mereka di Polri. Karena menempatkan mereka di Polri justru kian melegitimasi anggapan bahwa 56 pegawai itu memang sengaja disingkirkan dari KPK.

Sekali lagi, secara substansi tak ada beda mereka diajak bergabung ke Polri dengan tetap di KPK. Sama-sama memberantas korupsi, bukan?
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita