Polri Bantah Semena-mena Tangkap Masyarakat yang Beda Pendapat dengan Pemerintah

Polri Bantah Semena-mena Tangkap Masyarakat yang Beda Pendapat dengan Pemerintah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membantah telah bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pandangan politiknya dengan pemerintah.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan, selama ini korps bhayangkara bergerak melakukan penangkapan atau penindakan terhadap masyarakat berdasarkan adanya laporan polisi baik model A atau B dan berproses berdasarkan konstruksi hukum yang ada.

"Jadi seseorang dapat dijerat dalam suatu perkara pidana terkait dengan peristiwa pidananya itu sendiri kemudian unsur apa yang telah dilakukan atau dilanggar, dari situlah konstruksi hukumnya," kata Awi kepada wartawan di Mabes Polri, Senin (26/10).

Awi menegaskan, bahwa institusi Polri merupakan pelaksana Undang-undang. Disisi lain, Awi mengatakan terbuka ruang bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan mengajukan gugatan praperadilan.

Langkah itu, tekan Awi sekaligus sebagai fungsi kontrol terhadap pihak Kepolisian. 
"Jika dalam proses sistem peradilan pidana ada masyarakat yang merasa tidak puas dengan tindakan Kepolisian tentunya di Pasal 77 KUHAP telah diatur tentang sistem praperadilan. Apabila masyarakat tidak setuju atau mau menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan bahkan di tingkat penuntutan juga dapat di praperadilankan. Hal ini sebagai kontrol bahwa Polisi sudah betul atau tidak," demikian Awi.

Sebelumnya, hasil sigi dari Indikator Politik Indonesia mengungkap bahwa sebesar 57,7 persen menganggap aparat semakin semena-mena dalam menangkap warga yang tak sejalan pandangan politiknya dengan pemerintah.

"Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, kemarin.

Survei tersebut dilakukan pada 24 September hingga 30 September 2020 dengan menggunakan panggilan telepon karena pandemi Covid-19. Metode yang digunakan adalah simple random sampling dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak berdasarkan data survei tatap muka langsung sebelumnya pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Adapun margin of error sekitar 12.9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel berasal dari seluruh provinsi di Indonesia yang terdistribusi secara proporsional. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita