Menghina Anies Sama dengan Menghina Prabowo

Menghina Anies Sama dengan Menghina Prabowo

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Penulis: Balya Nur

Anies Baswedan jadi gubernur DKI bukan mendadak turun dari langit bareng air hujan. Bukan karena Tuhan marah dengan Ahok yang dengan sombongnya menantang hujan, “Nah semalam dites ok. Makanya, saya enggak tahu, saya harap beberapa hari ini hujan lebat lagi nih, kalau perlu hujan lebat yang, lah satu jam, dua jam, kita tes lagi,” Lalu Tuhan menurunkan hujan, tidak sampai hitungan jam saja Jakarta kontan banjir plus bonus Anies yang ikut mengalir masuk Balaikota untuk menggantikan Ahok. Bukan. Bukan itu. Lagi pula untuk menutupi malunya, Ahok mengganti kata banjir menjadi hanya sebatas genangan air yang akan surut dalam waktu kurang dari 6 jam, walaupun faktanya banjir betah menghabiskan waktu beberapa hari menikmati indahnya kota Jakarta.

Tuhan punya cara sendiri untuk mengusir Ahok dari Balaikota karena mungkin Ahok sudah dianggap melampaui batas dalam bertutur kata. Bukan hanya berani melecehkan salah satu ayat surah Al Maidah, tapi juga dia dengan entengnya seolah mengatakan dalam bernegara kitab konstituisi lebih penting daripada kitab suci.

Maka Ahok pun tamat karirnya dengan cara konstitusional. Dengan kata lain, kitab kosntitusi yang dibanggakan Ahok boleh dibilang seperti pagar makan tanaman. Padahal bukan hanya Ahok, publik pun seakan yakin seyakinnya Ahok bakal menang telak pada Pilkada DKI 2017. Tentu saja setelah menghitung secara kalkulasi politik para bakal calon gubernur yang akan menantang Ahok. Waktu itu nama Anies nggak masuk hitungan. Anies nggak punya partai. Mau jalur independen butuh dana yang guedeee banget, juga perlu relawan yang militan. Ahok saja nyerah setelah konon katanya berhasil mengumpulkan berkarung karung KTP, akhirnya pakai cara yang dulu ditentangnya, melalui jalur Parpol dan membiarkan karungan KTP itu jadi barang tak berguna, menysiakan kerja relawannya yang sia-sia. Bergabungnya Ahok dengan parpol koalisi seperti PDIP dan Golkar saja public sudah memastikan Pilkada DKI sudah selesai sebelum pencoblosan. Apalagi ditambah dukungan parpol parpol kecil lainnya.

Pada deti-detik akhir pendaftaran calon gubernur DKI, entah apa yang ada dalam pikiran Prabowo, dia mendadak memanggil Anies untuk jadi cagub mendampingi Sandiaga Uno. Padahal parpol koalisinya juga banyak kader yang layak jadi cagub. Tapi kalau berhadapan melawan Ahok tentu saja bukan soal layak dan tidak layak atau mampu dan tidak mampu.

Anies pun sama sekali nggak kepikiran bakal dicagubkan oleh Prabowo. Anies kan dulu timses Jokowi-JK. Sulit memang menerka pikiran Prabowo yang taktis, strategis, yang bikin Ahok menangis. Pada awalnya hasil survey Anies-Sandiaga kalah jauh dibanding dua pasangan cagub rivalnya. Tapi Prabowo tetap opitimistis, Anies-Sandi bakal jadi gubernur dan wakil gubernur DKI.

Anies tentu saja sangat berhutang budi pada Prabowo. Belum pernah ada pemimpin Parpol yang berani nekad mengambil keputusan yang lebih mementingkan kepentingan rakyat, dalam hal ini warga Jakarta ketimbang kepentingan parpolnya, dalam hal ini Gerindra dan PKS. Bukan hal mudah tidak mengusung kader sendiri tapi malah memilih orang luar yang oleh publik Anies saat itu masih dianggap orangnya Jokowi walaupun sudah “dibuang” Jokowi dan “dipungut” Prabowo. Kalkulasi politik yang hampir tidak masuk akal sehat.

Kalau pada pilpres 2019 Gerindra dianggap serakah karena mencalonkan capres-Cawapres Gerindra-Gerindra, dan Prabowo dianggap politisi yang hanya mementingkan parpolnya saja, karena memang memori publik hanya 500 Mb. Pilkada DKI 2017 seakan hilang dari memori karena kapasitas memorinya terbatas.

Sekarang para pendukung Jokowi mendadak bilang Prabowo adalah seorang negarawan hanya karena Prabowo mengucapkan selamat atas kemengan Jokowi dan makan sate bareng. Semudah itu para pendukung Jokowi memberi label Prabowo yang beberapa menit sebelumnya Prabowo masih dicaci-maki dengan julukan politisi sontoloyo. Kamus politik para pendukung Jokowi adalah, siapa saja yang mendukung Jokowi berarti pancasilais, yang mendukung Prabowo adalah anti pancasila, intoleran, dan semacamnya. Politisi yang berani makan sate bareng Jokowi adalah negarawan, yang nggak berani adalah pecundang. Jokowi sudah jadi tolok ukur pancasilais dan negarawan.

Beda dengan Anies. Dia mendapatkan pengalaman hidup yang luar biasa ketika Prabowo memanggilnya untuk dijadikan cagub DKI. Kepada sejumlah media Anies menyatakan , berkaca pada Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana dirinya bersama Sandiaga Uno diusung maju oleh Gerindra dan PKS.

Anies pribadi mengaku takjub karena dirinya bukan kader kedua partai itu. Selain itu, pada Pilpres 2014 dirinya dalah juru bicara pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang notabene rival Prabowo dalam kontestasi tersebut.

“Saya itu berada sebagai pendukungnya Jokowi, coba kalau mereka berdua hanya memikirkan kepentingan kelompoknya, partainya, tidak mungkin terjadi,” tuturnya.
Hal itu, kata Anies menjadi bukti masih ada pemimpin di Indonesia yang memiliki sifat kenegarawanan dan tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

“Ini membuktikan kenegarawanan masih ada di republik ini, jangan pesimis, mudah-mudahan selalu ada contoh sebagai negarawan,” kata Anies.

Tentu saja Anies bukan tipe kacang yang lupa pada kulitnya, karena dia pernah jadi kacang yang dibuang begitu saja tanpa alasan yang jelas,paling tidak alasan yang publik ketahui. Prabowo tentu saja punya harapan besar pada Anies agar bisa sukses memimpin Jakarta. Bukan hanya kemenangan Pilkada DKI 2017 yang bisa membuat Prabowo bangga, tapi lima tahun hasil kerja Anies akan jadi catatan bukan hanya milik Anies tapi juga milik Prabowo dengan Gerindra dan tentu saja PKS.

Sampai disini, sulit memahami sikap para pendukung Jokowi yang memuji Prabowo sebagai negarawan, tapi tidak henti-hentinya sampai sekarang memaki-maki Anies . Padahal kelompok mereka yang mengatakan, pertemuan Prabowo dan Jokowi untuk menurunkan tensi masyarakat yang terbelah. Tapi ketika bicara soal Anies tensi mereka nggak pernah turun, malah tambah naik.

Bagi mereka, setelah Jokowi menang pilpres 2019 rakyat harus mendukung penuh Jokowi, tapi setelah Pilkada DKI 2017, warga Jakarta tidak boleh mendukung Anies. Rakyat Indonesia harus melupakan drama Pilpres 2019 agar bisa sama-sama membangun Indonesia, tapi warga Jakarta jangan melupakan Pilkada DKI 2017. Anies jangan dibiarkan tanpa cacian, warga Jakarta harus tetap memelihara pertentangan semasa Pilada DKI 2017. Masa bodo amat dengan pembangunan Kota Jakarta. Kata Bang Rojak, “ Dungunya tuh disitu. Dua ratus sekolam kok nggak naik-naik, naik kek barang sepuluh mah…” Itu kata Bang Rojak, bukan kata saya. Kalau kata saya, mereka punya kepribadian ganda.

Mereka memuji Jokowi dan Prabowo sebagai negarawan, tapi sebagai rakyatwan saja mereka nggak bisa. Kalau mendengar nama Anies mereka bawaanya nyolot aje. Tapi untungnya Anies nggak baperan. Walaupun Guntur Romli menyebut Anies itu goblok, Anies cuek saja. Padahal kalau Anies mau, Guntur Romli bisa senasib dengan Ahmad Dhani yang cuma bilang orang-orang yang mempersekusinya sebagai orang-orang idiot. Bahkan di persidangan,secara hukum Ahmad Dani tidak terbukti ucapan itu ditujukan kepada gerombolan yang mempersekusinya. Tapi tentu saja Anies juga sadar, dia berada di kubu mana. Kalau pun misalnya Anies mau memperkarakan kicauan Guntur Romli, belum tentu polisi mau menindak lanjuti.

Singkat cerita, menghina Anies sama saja dengan menghina Prabowo. Paling tidak, tidak menghormati Prabowo sebagai negarawan. Mereka maunya junjungan kubu mereka saja yang dihormati, tokoh kubu lain bodo amat!

Begitu juga dengan kubu Anies yang mulai menggadang-gadang Anies sebagai capres 2024. Memuji Anies sama dengan memuji Prabowo. Jadi nggak bisa memisahkan Anies dengan Prabowo.Sebagai kulit kacang yang sudah kembali dijadikan kacang, tentu saja Anies tidak bisa melupakan begitu saja jasa baik Prabowo yang disebutnya sebagai negarawan sejati. Jadi? 2024 masih jauh.

Lagipula iseng-iseng ngomongin Anies sebagai capres 2024 sama saja dengan membangkitkan amarah warga kolam. Makanya nggak heran Bong semakin beringas dengan mencaci Anies sabagai gubernur goblok. Mereka sedang membendung bola salju Anies for Capres 2024 yang mungkin saja akan terus bergulir. Walaupun Jokowi tidak nyapres lagi, tapi kan mereka mewarisi trah politik Jokowi. Jadi, siapa bilang Cebong otomatis akan punah pada tahun 2024. Nggak lah yaaaww. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA