Pengakuan Pembersih GBK: Ketemu Obat-obatan dan Alat Kontrasepsi

Pengakuan Pembersih GBK: Ketemu Obat-obatan dan Alat Kontrasepsi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Jam dinding menunjukkan pukul 04.00 WIB ketika Tansui Maribeth Simangunsong (21) memulai aktivitas, Jumat (12/4). Beranjak dari tempat tidur di indekosnya, Palmerah, Jakarta Barat.  Siap-siap, lalu berjalan kaki menuju halte Trans Jakarta terdekat.  

Dia harus tiba sebelum pukul 06.00 WIB di tempat kerjanya, Gelora Bung Karno (GBK). Perempuan yang berprofesi sebagai petugas kebersihan itu menjalankan rutinitas yang sama, enam hari dalam sepekan.  

Hari itu, perantau asal Medan, Sumatera Utara  tersebut ditugaskan untuk membersihkan area lobby timur dan VIP GBK. Mulai dari menyapu hingga memungut sampah dia kerjakan hingga shift-nya berakhir pada pukul 14.00 WIB.

Di sudut lain GBK, Uyan Suherman (33) baru memulai pembersihan. Dia ditempatkan di area outdoor bagian utara GOR GBK. Tahun ini menjadi tahun kesembilannya bertugas di GBK. Waktu panjang itu membuat Uyan sudah pernah ditempatkan di berbagai venue GBK. 

Sebagai petugas kebersihan, keduanya bisa dibilang selalu sibuk. Apalagi, karena GBK tidak pernah sepi. Terutama, jika area itu sedang dipakai untuk pagelaran besar. Sebut saja, pertandingan sepakbola, konser, atau kampanye.

Pasalnya jumlah pengunjung serta sampah yang ditinggalkan pasca acara bisa jauh lebih banyak. Belum lagi, mereka harus mulai bekerja sebelum acara dimulai.

“Kalau ada acara kampanye saya kadang sampe nginep dua hari di kantor,” kata Haerudin, selaku Head Site Kebersihan GBK kepada kumparan, Rabu (10/4). 

Dia menyebut, semua jenis acara juga menimbulkan tingkat kesibukan dan persiapan berbeda. Misalnya, persiapan sebelum kampanye akbar masing-masing pasangan calon presiden.  Para petugas dan pengelola harus bersiap sejak sepekan sebelum acara. 

“Kita rapat, buat plotting petugas, sama koordinasi sana-sini,” tambahnya.

Sementara itu, pada hari-hari biasa, pengunjung lebih banyak datang pada pagi dan sore hari untuk berolahraga. Jumlahnya bertambah signifikan setiap akhir pekan.

Haerudin menjelaskan,  jumlah pengunjung selalu berbanding lurus dengan sampah yang ditinggalkan. Di hari biasa, jumlahnya mencapai 30 kantong berukuran 90 X 120 cm. Sementara di akhir pekan, biasanya bertambah 10 kantong.

“Satu kantong plastik yang penuh biasanya berbobot 5 kg,” jelasnya.

Berbicara seputar jenis sampah, juga berbeda antara hari biasa dengan ketika ada acara di GBK. Menurut Tansui, di hari normal, dia lebih banyak menemukan sampah alam seperti daun, kotoran hewan, serta debu yang menempel di kaca gedung. Sementara sampah plastik atau botol minuman, jumlahnya hanya sebagian kecil.

Sementara ketika ada acara besar, jenis sampah menjadi sangat beragam. Bahkan, para petugas kerap menemukan sampah-sampah tak terduga. 

“Pernah saya nemu alat kontrasepsi (kondom) di acara konser. Ngapain coba ke acara musik bawa gituan segala.” Kata Tansui. 

Sama halnya dengan Tansui, Uyan pun pernah menemukan sampah yang tak kalah aneh.

“Pernah habis konser itu lihat obat-obatan seperti Tramadol (obat penenang). Ada obat-obatan yang warna kuning gitu. Ya tiap acara beda-beda lah sampahnya.” ucapnya.

Soal suka duka bekerja di GBK, keduanya punya jawaban mirip. Yakni rasa kekeluargaan yang erat di tengah para petugas kebersihan. Hal itu pula yang membuat mereka betah bekerja.

Namun, memang tidak semua orang memandang pekerjaan sebagai petugas kebersihan dengan hormat. Tansui menyebut, pernah beberapa kali mendengar ucapan-ucapan yang bernada merendahkan. 

“Ada yang bilang, ‘ngapain sih masih muda kok mau kerja kaya gitu?” ucap Tansui menirukan sindiran yang pernah dia dengar.  

Selain itu, masalah lain yang kerap ditemui adalah pengunjung yang kerap membuat kesal. Sebut saja, oknum yang kerap buang sampah sembarangan. Bahkan, menurut mereka, ada pengunjung yang berulah menjengkelkan. Misalnya, dengan merobek-robek kertas menjadi bagian-bagian kecil.

“Apalagi kalau hujan, kertasnya jadi basah, lengket jadi harus dipungutin satu-satu,” ungkap Tansui 

Hal lain yang kerap buat mereka jengkel adalah pengendara yang memacu kencang mobil atau motornya ketika para petugas itu tengah menyapu jalanan di area GBK.

“Saya mikirnya gini, saya punya anak istri nunggu saya. Tiba-tiba saya tinggal nama doang di GBK. Itu doang kekesalan saya,” ungkap Uyan.

Di luar itu, Tansui dan Uyan sebenarnya tidak pernah membenci ramainya GBK. Namun, mereka berharap, para pengunjung punya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Bukan untuk memudahkan mereka, tapi sebagai bentuk tanggung jawab turut merawat GBK.

“Misalnya pas kemaren itu kampanye akbar, mereka bilang tidak meninggalkan sampah, GBK bersih. Lah itu yang kita angkutin berkarung-karung keluar GBK apaan? Kadang kita kayak nggak dianggap gitu.” Lanjut Tansui.

Pengelolaan sampah di GBK sejatinya merupakan kolaborasi antara pengelola internal dengan dinas-dinas terkait. Antara lain Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan pasukan oranye.  Kedua dinas tersebut membantu pengangkutan sampah dari GBK menuju TPA Bantar Gebang, Bekasi. [kumparan]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita