KPK Ditantang Sita 29 Bangunan Tower Meikarta, Berani?

KPK Ditantang Sita 29 Bangunan Tower Meikarta, Berani?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mempertanyakan kelanjutan proses hukum megaproyek Apartemen Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pasca operasi tangkap tangan (OTT) KPK, (14/10/2018) bulan lalu.

Pasalnya, proyek milik Lippo Group tersebut saat ini masih terus berjalan. Para pekerja dan aktivitas proyek tetap beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang berubah, meski proyek dengan luas sekitar 500 hektare itu tersandung kasus suap dalam proses perizinannya.

Padahal, kata Margarito, lembaga antirasuah memergoki semua perizinan proyek Meikarta mulai dari tata ruang, Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), seluruhnya bermasalah.

"KPK tegas mengatakan bahwa proses pemberian izin IMB dan izin lingkungan semuanya bermasalah. Tapi, apa kabar dengan hasil penyidikan yang dilakukan KPK?," kata Margarito di acara diskusi publik yang digelar Forum Solidaritas Alumni UI, (FSA UI), bertajuk 'Kasus MEIKARTA Ujian Berat Bagi Independensi KPK', di Gren Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018). 

Dalam diskusi ini, hadir juga sebagai pembicara antara lain, Aktivis Sri Bintang Pamungkas, Presedium KAKI, Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Pembina LPKPK, Muhammad Joni, pengamat Haris Rusly Moti, Pengamat Kebijakan Publik, Amir Hamzah dan Muchtar Effendi Harahap.

Margarito menilai, dalam penyidikan yang sudah berlangsung sejak OTT, belum ada progres berarti yang dilakukan KPK. Termasuk penetapan tersangka baru.

"Tentu saja kita beri kesempatan KPK terus mendalami praktik busuk yang membelit proyek Meikarta," katanya. 

Namun demikian, Margarito juga mempertanyakan keseriusan KPK dalam menuntaskan skandal tersebut.

"Kita bisa berkesimpulan, semua bukti sudah dikantongi KPK terkait pelanggaran hukum di Meikarta," bebernya.

Karenanya, Margarito menantang KPK melakukan tindakan hukum yang lebih konkrit dari sekedar hanya mengumbar pernyataan dan sekedar bolak-balik memanggil pihak-pihak terkait.

Menurut Margarito, mestinya KPK bisa melakukan tindakan yang lebih konkrit lagi. Misalnya melakukan penyitaan terhadap 29 tower dari 53 yang diajukan oleh pengembang di Meikarta demi kepentingan penyidikan.

"Tentu KPK memiliki caranya sendiri untuk menghentikan pembangunan bangunan ilegal Meikarta yang terbukti penuh masalah itu. Kalau KPK serius, saya tantang KPK sita itu bangunan Meikarta!," tegas Margarito.

"Inilah, yang menurut saya tindakan hukum yang bisa dilakukan oleh KPK. Mari kita desak KPK melakukan penyitaan terhadap semua bangunan sebagai barang bukti suap. Ini kan jelas bangunan haram, karena izinnya didapat dengan cara suap," ujar Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate itu.

Selain itu, Margarito juga meminta publik tidak cepat-cepat berpuas diri dengan proses pemanggilan Bos Lippo Group James Riady maupun penggeledahan kantor atau rumah.

"Itu penggeladahan dan pemeriksaan James tidak berarti apa-apa. Memangnya apa yang mereka dapat dari penggeladahan itu? Kita tidak tahu. 

Lantas karena sudah digeledah apakah KPK merasa sudah selesai?," katanya. "Kita ini diskusi terus, tapi mereka juga jalan terus," sambung Margarito.

"Okelah, KPK sudah dapat image di mata publik. Tapi KPK sebagai penegak hukum, apa yang dilakukan setelah itu?. Saya belum melihat langkah konkrit penyidik KPK sebagai pertanggungjawaban atas tugasnya melakukan tindakan hukum. KPK sangat lambat!," sesal Margarito.

Margarito pun meminta KPK tidak menutup-nutupi tentang apa yang sebenarnya terjadi di KPK.

"Padahal, publik menunggu, seberapa jauh langkah KPK? Kenapa tersangka di Meikarta tidak kunjung bertambah. Sementara semua orang dipanggil dan diperiksa. Ngapain KPK sibuk bolak-balik panggil orang. Apakah cuma buat rame-ramean saja," cetus Margarito.

Margarito pun meminta KPK tidak lagi banyak bicara yang ujungnya hanya membangun citra. 

"Sudah lah, publik sudah capek dengan begitu itu. Kalau KPK sudah berani melakukan penyitaan, pencabutan izin, dan tersangka nambah, itu baru tindakan hukum," jelas Margarito.

Namun, di sisi lain, Margarito juga mengaku ragu KPK akan punya cukup nyali dalam menindak kasus yang bersinggungaan dengan korporasi tersebut.

Padahal, menurut dia, tidak ada cerita korporasi tidak punya akses ke politik. 

"KPK tidak pernah mengungkap mislanya, korporasi keluarkan uang itu untuk siapa saja?, karena ini operasi oengamanan yang pasti dilakukan mereka," pungkas Margarito.

Seperti diketahui, proyek Meikarta milik Lippo Cikarang menyeret Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dalam perkara suap di Komisi Pemberantasan Korupsi. Neneng disangka menerima suap hingga Rp 7 miliar dalam beberapa termin.

Selain Bupati, empat pejabat juga menjadi tersangka, di antaranya Kepala Dinas PUPR, Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat M Banjarnahor, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP), Dewi Trisnowati, Kepala Bidang Tata Ruang pada Dinas PUPR, Neneng Rahmi.

Sedangkan empat orang diduga pemberi suap di proyek Meikarta yaitu Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, Taryadi (konsultan Lippo Grup), Fitra Djaja Purnama (konsultan Lippo Grup), dan Henry Jasmen (pegawai Lippo Grup). Barang bukti dari operasi tangkap tangan ratusan juta rupiah. 

KPK sebelumnya juga seudah menggeledah rumah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin di Bekasi pada Rabu, 17 Oktober 2018 bulan lalu.

Selain kediaman Neneng, KPK juga menggeledah rumah Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, kantor Bupati Bekasi, Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bekasi, serta kantor Lippo Gorup. Dari Kantor DPMPTSP KPK menyita sejumlah dokumen terkait proyek Meikarta.

Pada Kamis, 18 Oktober 2018 KPK kembali menggeledah lima lokasi lain, yakni rumah petinggi Lippo Group James Riady, Apartemen Trivium Terrace, Kantor Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi.

Penggeledahan itu dilakukan KPK menyusul terbongkarnya kasus dugaan suap terkait pengurusan izin proyek Meikarta. KPK menyangka Bupati Neneng dan empat pejabat dinas Pemerintah Kabupaten Bekasi menerima suap Rp 7 miliar dari komitmen fee Rp 13 miliar terkait pengurusan izin proyek tersebut.

KPK mensinyalir komitmen fee proyek Meikarta itu diberikan oleh Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen.

Diketahui, Megaproyek milik Lippo Group itu diluncurkan pada pertengahan Agustus 2017 lalu. Meikarta disebut-sebut bakal menjadi kota idaman, ambisinya seperti Kota Shenzhen di China atau Manhattan, Amerika Serikat dengan skala yang lebih besar. Demi menuju ke sana, investasi untuk proyek ini mencapai Rp278 triliun.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita