Jokowi Ingin Tabok Penyebar Hoax, Mengapa 6% Orang Percaya Jokowi PKI?

Jokowi Ingin Tabok Penyebar Hoax, Mengapa 6% Orang Percaya Jokowi PKI?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wajar, kalau Presiden Joko Widodo kesal dengan kabar hoax yang menuduhnya PKI. Begitu juga dengan tuduhan antek asing. Menurut tim sukses Jokowi-Ma’ruf, itu sebagai bentuk warning (peringatan) presiden kepada siapa saja yang suka membuat fitnah.

“Beliau bicara seperti itu karena beliau beranggapan bahwa isu hoax sudah keterlaluan, bisa merusak sendi-sendi hidup bangsa (budaya jujur, budaya persatuan, kebersamaan persaudaraan),” ujar Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding, kepada wartawan, Jumat (23/11/2018).

Jokowi berbicara tentang isu PKI yang kerap menyerang dirinya di hadapan warga Lampung Tengah. Ia bahkan mengatakan sampai ingin mencari dan menabok penyebar isu hoax yang dimaksud. Karding yang ikut menemani kunjungan Jokowi ke Lampung tersebut menyatakan isu hoax memang menjadi perhatian capres nomor urut 01 itu.

“Karena isu hoax sudah bisa memecah bangsa. Telah mengakibatkan orang sebagian percaya bahwa tuduhan semisal PKI, anti-Islam, antek asing, seolah menjadi sesuatu yang benar. Ini merugikan beliau sebagai pribadi,” sebut politikus PKB ini.

“Jadi pernyataan beliau itu warning kepada kita semua agar setop hoax, fitnah. Beliau keras dan tegas terhadap hoax, fitnah. Tegas. Dan tidak ada ampun untuk hoax,” imbuh Karding.

Meski menggunakan diksi yang cukup keras, Jokowi disebut bukan berarti marah. Karding menilai itu sebagai bentuk ketegasan.

Saat membagikan sertifikat tanah di Lampung Tengah kepada warga, Jokowi kembali menceritakan soal dirinya yang sering dituduh sebagai PKI. Ia pun menunjukkan kegeramannya kepada penyebar isu bohong tersebut.

“Coba di medsos, itu adalah DN Aidit pidato tahun 1955. La kok saya ada di bawahnya? Lahir saja belum, astagfirullah, lahir saja belum, tapi sudah dipasang. Saya lihat di gambar kok ya persis saya. Ini yang kadang-kadang, haduh, mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul,” ujar Jokowi geram.

“Saya ini sudah 4 tahun diginiin. Ya Allah, sabar, sabar, tapi saya sudah bicara karena ada 6 persen yang percaya berita ini. Enam persen itu 9 juta (penduduk) lebih lo. La kok percaya?” tambahnya.

Mengapa 6% Orang Percaya Jokowi PKI?

Menuduh Jokowi aktivis PKI, memang kelewat jauh. Tetapi, selama ini, orang selalu mengaitkan gaya politiknya. Misalnya, saat kunjungan resmi di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, untuk meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara Jumat 24 Maret 2017, Jokowi menegaskan agar persoalan agama dan politik harus dipisahkan.

Jokowi menilai mencampuradukkan agama dan politik bisa menyebabkan gesekan antarumat beragama. Namun sayang, gesekan ini, dimaknai Jokowi, terjadi dalam konteks yang sempit, yaitu konteks Pilkada. Padahal, jika benar terjadi gesekan antarumat beragama, ada lebih banyak lagi alasan ketimbang hanya sekedar unsur memilih seorang kepala Daerah.

Sekedar mengingatkan, seorang tokoh politik dari Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit), pernah menegaskan “Agama adalah candu… Maka Revolusi Mental tak akan pernah berhasil bila rakyat tak dijauhkan dari agama.”

Di awal kepemimpinan Jokowi, kita mengenal istilah “Revolusi Mental”. Bahkan tak tanggung-tanggung  ada sebuah terobosan dengan dana khusus hanya untuk melaksanakan proyek Revolusi Mental ini.
Meme ini berbicara tegas. Ini beredar luas di media sosial. 

Dalam paham demokrasi, rakyat memegang kendali atas kekuasaan tertinggi politik. Maka jika ada upaya memisahkan agama dengan politik, sama artinya dengan menjauhkan rakyat dari agama. Ini persepsi oposisi.

Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa Revolusi Mental tersebut adalah Jargon PKI tahun 50-an, sebelum pada masa jaya partai itu menang Pemilu tahun 1955.

Menurut HRS, kalau yang dimaksud Revolusi Mental adalah revolusi akhlak, revolusi moral, revolusi budi pekerti, dari tidak baik menjadi baik, tentu kami dari FPI sangat-sangat mendukung.

“Tapi kalau yang dimaksud revolusi mental adalah membebaskan jiwa dari ikatan agama, membebaskan jiwa daripada aturan hukum tuhan, sebagaimana yang pernah disuaran oleh Karlmax, sebagaimana pada tahun 50-an pernah dikampanyekan oleh PKI, kami menolak istilah revolusi mental kalau hanya memberi kesempatan PKI untuk bangkit,” tegas HRS saat itu.

Di samping itu, ada jargon yang sering disebut mirip PKI, adalah kerja, kerja, kerja. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dituding kelompok oposisi dengan tudingan PKI akibat menggunakan slogan yang sama,  kerja, kerja dan kerja. Tulisan di koran milik PKI Pesindo tulisan Soenarja berjudul ‘Bekerdja, Bekerdja, Bekerdja’ menjadi viral di media.

Sejarah memang layak diputar ulang. Inilah artikel yang menyamakan jargo kerja, kerja, kerja Jokowi. 

Ini diakui Koordinator Gardu Banteng Marhaen Sulaksono Wibowo dalam pernyataan kepada suaranasional, Senin (1/10).  “Presiden Jokowi pernah difitnah revolusi mental sama dengan PKI,” papar Sulaksono.

Menurut Sulaksono, slogan kerja, kerja dan kerja itu umum dan tidak ada hubungannya dengan PKI. “Slogan itu menunjukkan Pak Jokowi bekerja untuk rakyat, siang dan malam memikirkan bangsa dan negara,” ungkap Sulaksono. [dtc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita