BPJS Kesehatan Paksa Warga Tanggung Utang, Tak Patuh maka SIM STNK Paspor Tak Bisa Diperpanjang

BPJS Kesehatan Paksa Warga Tanggung Utang, Tak Patuh maka SIM STNK Paspor Tak Bisa Diperpanjang

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Masyarakat Indonesia yang menjadi peserta BPJS Kesehatan akan dipaksa menanggung hutang. Bahkan, bakal ada sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran tiap bulan. Sanksinya bagi peserta yang tak patuh tidak akan bisa memperpajang SIM, STNK hingga Parpor.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun. Presiden Joko widodo (Jokowi) sempat memberikan teguran kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris. Jokowi heran suntikan dana Rp 4,9 Triliun yang diberikan pemerintah lewat APBN masih kurang untuk menutup defisit BPJS.

“Harus kita putus tambah Rp 4,9 Triliun (untuk defisit BPJS). Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang. Kebutuhan bukan Rp 4,9 Triliun’. Lah kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta,” kata Jokowi saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di JCC, Senayan, Rabu (17/10/2018) lalu mengutip Kompas.com.

Jokowi meminta Fahmi untuk segera memperbaiki sistem manajemen yang ada. Menurutnya, jika sistem dibangun secara benar, Jokowi meyakini BPJS bisa terhindar dari defisit keuangan.

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga turut menegur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek karena ia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di tingkat kementerian.

“Masa setiap tahun harus dicarikan solusi. Mestinya sudah rampung lah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya. Kalau tahun depan masih diulang kebangetan,” kata Jokowi.

Akibat terjadinya defisit keuangan, BPJS Kesehtan pun mengambil langkah yang dianggap dapat meminimalisir defisit yang terjaid di perusahaan.

Salah satunya dengan mengetatkan sanksi terhadap peserta yang masih menunggak iuran. Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, perusahaan akan mengetatkan sanksi tersebut terhadap peserta yang termasuk dalam pekerja bukan penerima upah (PBPU/informal).

Sebab segmen tersebut merupakan salah satu penyumbang defisit yang dialami BPJS Kesehatan saat ini.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun. Jumlah itu merupakan selisih dari iuran yang terkumpul yakni Rp 60,57 triliun dengan beban Rp 68,52 triliun.

Adapun sumber defisit itu paling besar dari peserta pekerja bukan penerima upah. Segmen peserta itu hanya bisa mengumpulkan iuran sebesar Rp 6,51 triliun. Sementara beban yang ditimbulkan senilai Rp 20,34 triliun, sehingga memiliki selisih Rp 13,83 triliun.

Kemudian, segmen peserta bukan pekerja juga memiliki selisih Rp 4,39 triliun. Sebab, iuran yang terkumpul Rp 1,25 triliun sementara bebannya Rp 5,65 triliun. Begitu juga dengan pekerja penerima upah (PPU) yang didaftarkan pemerintah daerah juga menyumbang defisit Rp 1,44 triliun karena iuran Rp 4,96 triliun dan bebannya Rp 6,43 triliun.

Justru untuk segmen penerima bantuan iuran (PBI) keuangannya tidak negatif. Tercatat, iuran PBI jumlahnya mencapai Rp 19,1 triliun. Sementara, bebannya cenderung lebih rendah Rp 15,89 triliun. Sehingga menurut Kemenkeu dari PBI justru surplus Rp 3,21 triliun.

Melihat hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan untuk membuat peserta informal patuh adalah adanya penguatan regulasi soal sanksi ketat. Salah satunya yakni tidak bisa memproses izin-izin jika belum melunasi tunggakan BPJS Kesehatan.

“Soal keterkaitan izin ini sebetulnya sudah tercantum di PP 86 Tahun 2013, memang ini sudah dipersiapkan bahkan sebelum JKN ada,” jelas Iqbal melansir Kontan.co.id, Senin (12/9/2018).

Disebutkan, dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 sanksi itu meliputi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada yang dikenai penerima seperti perizinan terkait usaha, izin yg diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing dan izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan izin mendirikan bangunan (IMB).

Sementara sanksi yang dikenakan kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan PBI juga akan terganjal perizinan seperti mengurus IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor bahkan STNK.

Iqbal pun mengatakan, jika sesuai peraturan maka hal itu seharusnya sudah siap diefektifkan per 1 Januari 2019, amanat Perpres 82/2018. Apalagi, saat ini sudah ada online single submission (OSS) yang membuat semua perizinan terintegrasi.

“Sudah dibicarakan supaya 2019 tidak kelewat lagi kalau orang daftar harus punya kartu (BPJS Kesehatan), tambah dia. Bahkan saat ini juga sudah ada beberapa pemerintah daerah yang menyiapkan regulasi untuk memberlakukan ketentuan tersebut. Tapi, lanjut Iqbal, pemerintah tidak langsung mengaktifkan seluruhnya tapi akan ada sosialisasi dahulu ke masyarakat,” terangnya.

Disisi lain, pelayanan bagi peserta BPJS Kesehatan saat berobat di klinik maupun di rumah sakit pun hingga saat ini masih kerap kali dikeluhkan oleh masyarakat. Sehingga, tak sedikit dari warga yang menjadi peserta BPJS Ksehatan tidak mempergunakan kartu JKN-nya ketika berobat ke rumah sakit atau klinik karena mereka tak mau ribet.

Terlebih mendapatkan pelayanan lebih baik jika melakukan pembayan tunai tanpa menggunakan kartu JKN atau kartu BPJS Kesehatan. [trb]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita