Hari Ini, Ratusan Nelayan Pilih 'Melaut' Di Kemendag Dan Istana

Hari Ini, Ratusan Nelayan Pilih 'Melaut' Di Kemendag Dan Istana

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Nelayan Indonesia pada masa kini bukan hanya menghadapi masalah perubahan iklim yang ekstrim, tetapi yang lebih besar lagi yaitu menghadapi para investor tambang yang menggerus dan menghancurkan sumber kehidupan mereka.

Hal ini dikemukakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati dalam acara Temu Akbar Masyarakat Pesisir di Jakarta, Selasa (16/10).  Temu Akbar yang akan berlangsung hingga Kamis (18/10) besok ini dihadiri sekitar 150 nelayan dari Aceh hingga Papua.

“Bahkan, sejumlah kasus masyarakat pesisir dan nelayan dikiriminalisasi karena menentang kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka karena aktivitas tambang yang merusak pesisir," lanjut Susan.

Selain Susan dari Kiara, narasumber lain yang dihadirkan, yakni Agus Darmawan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Laut Kementerian Perikanan dan Pesisir (KPP), Ivanovich Agusta dari Kapusdatin Kemendesa PDTT, Bafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW), dan Alisa Wahid dari Wahid Institute.

Dalam diskusi di hari pertama tersebut, beberapa nelayan menceritakan sulitnya ruang gerak mereka di laut setelah digempur sejumlah perusahaan tambang yang masuk di wilayah pesisir tempat hidup mereka.

"Kami harus mendengar ledakan-ledakan yang menghancurkan tebing dan kadang longsor yang membuat laut kami seperti 'kopi susu'. Ketika kami ingin membela kehidupan kami, kami dikriminalisasi dan dituduh PKI," tutur Fitriyati (28), salah seorang ibu warga pesisir dari Tumpang Pitu (pesisir selatan Banyuwangi), Jawa Timur.

Fitriani sendiri baru saja beberapa bulan dibebaskan dari tahanan karena aktivitasnya bersama sejumlah warga yang menolak keberadaan tambang di pesisir desanya.

"Saya hanya memikirkan anak-anak kami. Kami ingin mereka hidup dan berkembang di lingkungan yang baik dan sehat. Kami ingin negara hadir dan berada bersama rakyatnya bukan pada perusahaan-perusahaan yang telah merampas ruang hidup kami," ucapnya dalam forum yang kemudian disambut dukungan teriakan semangat oleh para nelayan yang hadir.

Kriminalisasi, lanjut Susan, juga terjadi pada masyarakat pesisir dan nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dalam kasus tersebut, nelayan tidak mendapatkan perlindungan atas tanah dan sumber daya lingkungan dan hak tenorial mereka seperti dihilangkan.

Menanggapi hal itu, Agus menyampaikan, peran pemerintah dalam melakukan perlindungan kepada nelayan dan memberikan ruang sebesar mungkin agar masyarakat pesisir menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri, salah satunya dengan program Zoonasi.

“Dengan program Zoonasi, nanti akan jelas pembagiannya, mana yang untuk perikanan, konservasi, pertambangan, dan pariwisata,” ujarnya.

Senada dengan pemerintah pusat, menurut Ivanovich, pemerintah daerah juga ikut membantu dalam menyejahterakan masyarakat pesisir.

Susan mengingatkan kepada pemerintah, bahwa begitu banyak kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pesisir. Seperti reklamasi. Menurut Susan, reklamasi tidak dibutuhkan oleh nelayan Indonesia. Karena pulau-pulau yang ada di Indonesia sangat kaya ada sekitar 16,056.  

Mengenai kebijakan zoonasi, kata dia, seharusnya dirumuskan bersama masyarakat yang ada di lingkungan pesisir. Senada dengan Susan, Nafian menjabarkan pengalamannya ketika sempat bekerja sama dengan perusahaan tambak.

Nafian mengatakan, perusahaan hanya mengambil untung dari nelayan. Saran dia, nelayan harus mandiri sehingga tidak perlu ketergantungan kepada pemerintah atau perusahaan. "Dengan mandiri kita bisa berdaulat," serunya.

Rencananya pada hari ini (Rabu, 17/6), 150 nelayan akan melakukan aksi long march atraktif menuju Kementerian Perdagangan dan Istana Merdeka. Mereka akan menyoroti kebijakan garam.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita