Prabowo Akan Kalah?

Prabowo Akan Kalah?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Tony Rosyid*

Prabowo maju lagi? Banyak orang ragu, termasuk Prabowo sendiri. Kok ragu? Pertama, elektabilitas gak menggembirakan. Stagnan dan cenderung turun. Kedua, tak mudah “jualan”. Susah cari diksi untuk “branding” Prabowo. Sebagai satu-satunya “tokoh oposisi”, Prabowo tak cukup cerdas memanfaatkan setiap momentum untuk membranding dirinya. Malah keluar kata “goblok”. Kata yang tak membawa rasa simpati rakyat yang mayoritas Jawa. Prabowo terlalu polos dan lugu soal politik. Ketiga, potensi kekalahan ini mengakibatkan kesulitan cari dana. Kabarnya, Prabowo sudah kemana-mana, tapi kesulitan dapat pendana. Mereka pesimis terhadap Prabowo. Buat apa bantu yang kalah. Begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran mereka yang punya uang.

Sekali nyawapres kalah. Lanjut nyapres juga kalah. Yang mengalahkan adalah Jokowi, new comer yang belum punya pengalaman dan track record memadai. Belum pernah jadi pejabat tinggi. Ke Jakarta dan Jadi gubernur baru dua tahun. Tapi, Jokowi mampu mengalahkan Prabowo. Saat ini, Jokowi punya segalanya, kecuali elektabilitas yang juga tidak menggembirakan. Tapi, jika lawannya Prabowo, Jokowi jauh lebih unggul. Wajar jika Jokowi sangat percaya diri jika lawannya adalah Prabowo. Tim istana mendorong agar Prabowo yang maju. Tampak Luhut Binsar Panjaitan (LBP) girang kalau Prabowo yang maju. Dorong terus agar tetap maju. Salah seorang politisi PDIP pun bilang: kalau Prabowo gentle, maju sendiri. Jangan majukan calon yang lain. Mereka kompak dorong Prabowo maju. Mereka yakin Jokowi akan dengan mudah mengalahkan Prabowo. Semua survei punya kesimpulan yang sama.

Prabowo sadar itu. Kenapa nekat mau maju? Sebab, Gerindra ingin naik suaranya. Prabowo maju, itu “branding” buat Gerindra. Jumlah kursi untuk anggota legislatif akan kedorong naik. Suara Gerindra diprediksi nambah. Apalagi, 2019 pilpres dan pileg bersamaan. Branding partai dan caleg akan mudah. Risikonya, Prabowo jadi martir. Dikorbankan untuk suara dan kursi Gerindra.

Wajar jika PAN cenderung “emoh dukung” Prabowo. Bagaimana dengan PKS? Banyak tokoh dan elit PKS juga ragu. Tapi tak ada pilihan lain, “demi alasan persekutuan”. Satu keputusan yang tidak rasional. “Mangan ora mangan asal kumpul”. Ini filosofi Jawa yang sudah usang. Sudah ditinggalkan oleh kebanyakan orang Jawa, terutama yang perantauan. Karena sudah tidak lagi rasional. PKS mau mempertahankannya?

Majunya Prabowo, jika jadi, akan melapangkan jalan buat Jokowi untuk dua periode. Diksi #2019 Ganti Presiden akan sia-sia. Jokowi tak perlu keluar banyak keringat untuk kalahkan Prabowo. Apalagi jika Demokrat dan PAN gabung dengan istana, sebagaimana kabar yang lagi santer. Dua partai ini bersikap rasional. Mereka tak akan dukung calon yang akan kalah. Kok mendahului takdir? Tuhan sudah menetapkan hukum sosial. Banyak orang dungu di negeri ini yang tak mau belajar tentang hukum sosial itu. Akibatnya, berulangkali tersungkur karena mengabaikan perhitungan sosial.

Usia Prabowo sudah senja. Satu diantara dua pilihan: mau husnul khatimah menjadi begawan politik? Bijak dan legowo menyerahkan kepemimpinan bangsa ini kepada yang lebih muda? Atau mengakhiri masa tua dengan kekalahan ketiga kalinya? Jika ini benar-benar terjadi, maka akan jadi catatan politik yang serius buat anak bangsa kedepan. Orang akan bilang: jangan seperti prabowo, tiga kali nyalon kalah. Sebuah kalimat yang akan diabadikan di sepanjang sejarah untuk mereka yang tidak belajar dari kekalahan. Nafsu yang kurang perhitungan.

Diapasangkan dengan siapapun, elektabilitas Prabowo diprediksi sulit terangkat. Sebab, capres menjadi faktor utama rakyat memilih. Cawapres hanya pendukung. Jika elektabilitas capres “gak nendang”, maka akan sulit untuk menang. Karena alasan inilah, kabarnya Gatot “emoh” dan menolak dengan tegas untuk menjadi cawapres Prabowo.

Ada dua tokoh yang potensial mengalahkan Jokowi. Keduanya tokoh muda dan “rising star”. Pertama, Anies Baswedan. Gubernur DKI ini lagi naik daun. Eksistensinya jadi pembicaraan publik. “Media darling”. Kasak kusuk sejumlah elit politik membicarakan Anies for presiden 2019. Sebab, Anies paling potensial kalahkan Jokowi. PKS dan PAN kabarnya legowo mendukungnya. Faktor inilah yang membuat sejumlah pihak berupaya “dengan berbagai cara” menjegal Anies untuk nyapres. Anies berupaya “dibonsai” agar tak muncul. Dibully habis, agar namanya hancur. Tapi, Anies beruntung, masih kuat bertahan. Elektabilitasnya terus naik. Kelemahan Anies satu: gak punya uang. Amunisinya cekak. Tapi, jika Prabowo legowo mendeklarasikannya, besar kemungkinan donatur merapat. Bagi donatur, siapapun yang potensial menang akan dibantu. Bukan rahasia umum lagi.

Hanya Prabowo yang bisa mendeklarasikan Anies. Tidak yang lain. Kepada Prabowo, Anies “sendiko dawuh”. Fatwa politik Prabowo adalah satu-satunya tiket dan amanah Anies nyapres di 2019. Kenapa harus Prabowo? Toh ada partai lain? Kabarnya, Anies tak mau jadi penghianat. Jika sebelumnya ada sejumlah politisi dan elit negeri yang menghianati Prabowo, biarlah itu jadi masa lalu. Anies benar, bangsa ini mesti belajar berkomitmen dan menjaga moralitas berpolitik.

Kedua, Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI ini berpotensi mengalahkan Jokowi. Duitnya banyak. Amunisinya lebih dari cukup. Dari mana? Jangan tanya. Yang jelas, soal dana politik, kabarnya, Gatot paling siap diantara calon lainnya. Kelemahan Gatot satu: masih punya masalah komunikasi dengan aktivis 212. Terutama dengan pimpinannya yaitu Habib Rizieq. Mesti dijalin komunikasi jika Gatot tak ingin ada kendala serius. Sebab, Habib Rizieq, saat ini, menjadi faktor penting untuk mendapatkan suara umat Islam.

Soal cawapres, PKS punya stok berlimpah. Ada Ahmad Heryawan, Mardani Ali Sera, Sohibul Iman, Hidayat Nurwahid dan Anis Matta. Di luar PKS ada Tuan Guru Bajang, Zulkifli Hasan, AHY dan Muhaimin Iskandar.

Jika Prabowo legowo memberikan tiket partainya kepada satu diantara dua tokoh di atas, yaitu Anies atau Gatot, maka potensi menangnya jauh lebih besar. Selain faktor “rising star” dan elektabilitas, kedua tokoh ini juga punya surplus lainnya. Anies tidak punya masalah dengan ulama dan umat. Malah sebaliknya, Anies sangat dekat dengan -dan didukung oleh- ulama dan umat.

Sementara Gatot punya Amunisi (dana) berlimpah. Prabowo bisa pilih mana yang lebih dibutuhkan. Dengan catatan, kader Gerindra mesti bisa bersikap rasional. Sebaliknya, jika Prabowo dipaksa untuk terus maju, kemungkinan ia akan melengkapi dan menyempurnakan kekalahannya menjadi tiga kali. [swa]

*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa 

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA