Sejarah Panglima TNI Lekat dengan Tuduhan Mengudeta Pemerintahan

Sejarah Panglima TNI Lekat dengan Tuduhan Mengudeta Pemerintahan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


POST METRO - Masa tugas Panglima TNI Gatot Nurmantyo berakhir pada Desember 2017. Walaupun purnatugasnya dijadwal rampung Maret 2018. Namun Presiden Jokowi pada Senin (4/12), mengeluarkan surat percepatan purnatugas Panglima Gatot. Dalam surat itu presiden pun menyebut Gatot diberhentikan dengan hormat.

Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto pun naik ditunjuk presiden sebagai pengganti Panglima TNI. Jokowi beralasan penunjukkan Hadi Tjahjanto dianggap mampu membawa perubahan di tubuh TNI. Namun banyak mempertanyakan langkah presiden mempercepat purnatugas Jendral Gatot ini. Asumsi yang berkembangpun dianggap strategi politik Jokowi, khususnya jelang tahun politik 2018 dan 2019.

Asumsi ini bukanlah suatu kesalahan. Karena fakta sejarah, relasi politik pemerintahan dan Panglima TNI memang sering terjadi. Dalam sejarahnya selama 72 tahun merdeka, Indonesia telah memiliki 19 Panglima TNI dan dua Gabungan Kepala Staf. Sejak Indonesia merdeka pula jabatan Panglima TNI sebagai komandan militer tak lepas dari singgungan kepentingan politik kepala negara.

Sebagai contoh, perbedaan pandangan politik pernah terjadi antara Soekarno dan Soedirman saat revolusi dan perang gerilya. Ketika pemerintah diberi pilihan menyerah pada Sekutu. Jendral Besar Soedirman memilih tetap bertempur cara gerilya melawan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.

Namun sikap berbeda Soedirman ini tetap ia tunjukkan dengan etika kepada panglima tertinggi, Presiden Soekarno saat itu. Soedirman tak lantas bermanuver politik mengambil pemerintahan, sesaat sebelum Soekarno ditahan Belanda. Soedirman memilih berpamitan sambil memeluk Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta.

Tuduhan soal keinginan mengkudeta bukan tidak pernah dialamatkan ke Soedirman. Dalam buku 'Kesaksian Bung Karno 1945-1947', disebutkan adanya tuduhan Soedirman akan mengkudeta Soekarno. Ini berdasar surat yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan saat itu Amir Sjarifoeddin memerintahkan pemeriksaan kepada Soedirman. Namun semua itu tidak terbukti, karena tak pernah terbesit akan dilakukan seorang Soedirman.

Bahkan ketika perjanjian Roem-Royen pada 14 April 1949, Soedirman memiliki sikap tidak sepakat dengan pemerintah. Namun Soedirman menunjukkan perbedaan sikap ini bukan berarti mengkudeta atau merebut pemerintahan yang sah. Soedirman justru memilih mengundurkan diri dari jabatan Panglima TNI atau TKR saat itu. Walaupun tidak pernah dia jalankan demi menjaga kestabilan negara.

Sikap Soedirman tetap menghormati keputusan pemerintah. Sikap Panglima Besar ini menjadi contoh terbaik dalam menjaga relasi antara militer dan politik pemerintahan. Di mana hubungan militer dan politik dalam perjalanan sejarah kemudian, seringkali saling mengintervensi.

Soeharto dan Lobi Nasution kepada Soekarno

Sepeninggal Jendral Soedirman pada 1950, Panglima TKR saat itu berubah nama menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Pimpinan beralih ke Letjen TB Simatupang. Ia sebelumnya menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI dan diangkat dengan pangkat Mayjen hingga 1953. Hubungan militer dan pemerintah saat itu pun cukup bersitegang.

Hal ini karena intervensi politik yang terlalu jauh oleh parlemen dan presiden Soekarno atas konflik di tubuh militer. Intervensi ini dibalas gelombang demonstrasi di Jakarta menuntut pembubaran parlemen pada 17 Oktober 1952. Namun Soekarno enggan membubarkan parlemen, tapi berjanji akan mempercepat pemilu.

Sikap Presiden Soekarno ini berujung penolakan dari Panglima TNI saat itu, Mayjen TB Simatupang yang mengundurkan diri sebagai KSAP dan AH Nasution mundur dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Hingga pemilu pertama tahun 1955 pun digelar.
Presiden Soekarno menghapus jabatan KSAP diganti dengan Gabungan Kepala-Kepala Staf atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Kepemimpinan dijabat secara bergantian dari Angkatan Darat dan Udara.

Dua tahun kemudian Indonesia masuk dalam fase Demokrasi Terpimpin. Kolaborasi pemerintah dengan kaum sosialis kiri. Di era Demokrasi Terpimpin kelompok militer banyak yang mendapatkan bantuan dari AS. Khususnya bagi kelompok perwira militer yang tidak sepakat dengan kaum sosialis kiri. Salah seorang perwiranya adalah Jendral Abdul Haris Nasution, yang kemudian menjadi KASAB/Panglima TNI.

Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan 30 September 1965 oleh PKI. Upaya penculikan tujuh perwira AD anti-Komunis. Beruntung Jendral AH Nasution saat itu selamat. Atas perintah AH Nasution untuk memulihkan keamanan ibu kota ia menunjuk Mayjend Soeharto yang saat itu menjabat Pangkostrad, sebagai kepala operasi.

Soeharto sebagai Kopkamtib akhirnya berhasil menumpas komunis. Soeharto mendapat apresiasi besar dari AH Nasution. Atas jasanya Nasution melobi presiden Soekarno menjadikan Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Di masa ketidakpastian politik setelah PKI, peluang militer mengintervensi pemerintahan terbuka lebar.

Presiden Soekarno yang terdesak menghapus posisi Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Tak lagi menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata, AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS. Ketika suasana semakin genting itulah Soekarno dipaksa mengeluarkan Supersemar kepada Pangkopkamtib saat itu, Mayjen Soeharto.

Supersemar ini menjadi jalan, masuknya militer ke eksekutif. Surat ini menjadikan dasar Soeharto bertindak sebagai akting presiden. Soeharto menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967 dan masuklah Indonesia di era Orde Baru berkuasa. [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita