Letjen Marinir (purn) Suharto: Untuk Kali Kesekian, “TNI Dizholimi”

Letjen Marinir (purn) Suharto: Untuk Kali Kesekian, “TNI Dizholimi”

Gelora News
facebook twitter whatsapp


POST METRO - Dalam perbincangan dengan Hendrajit, redaktur senior Aktual, Minggu (10/12), mantan Komandan Jenderal Korps Marinir Angkatan Laut ke-12, Letjen (purn) Suharto tidak dapat menyembumyikan kegusarannya, menyusul pemberhentian dini terhadap Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo. Maupun adanya beberapa prosedur dan mekanisme yang janggal terkait kriteria penunjukan Panglima TNI yang baru. Marsekal TNI Tjahyanto. Dengan kata lain, TNI di Dizholomi, begitu menurut Letjen Suharto. Namun, soal perlakuan terhadap Panglima TNI menjelang akhir masa jabatannya bukanlah yang yang kali perama. Yang belakangan ini hanya sekadar titik kulminasi dari rangkaian penzholiman TNI sebelumnya. Berikut penuturan lengkapnya kepada Aktual.

Yang mau saya sampaikan kali ini, tetap dalam kerangka pandang saya sebelumnya. Bahwa kita sejak era reformasi 1998 hingga kini, negeri kita sedang menghadapi skema pelemahan internal NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang sialnya kemudian berujung pada penberlakuan tatanan dan prosedur baru yang tidak pas terhadap TNI sebagai institusi kombatan (tempur).Mengingat tugas pokok dan fungsinya di bidang Pertahanan.

Dalam kaitan itulah, saya sangat gusar terhadap dua perkembangan yang terjadi di dalam tubuh internal TNI baru-baru ini, yang menurut saya aneh dan mengundang tanya ada apa sebenarnya. Ada apa sebenarnya kok Panglima TNI Gatot Nurmantyo diberhentikan secara dini sebagai Panglima, padahal Maret mendatang beliau pensiun.

Kenapa harus cepat-cepat? Selain itu, meskipun penunjukan Panglima TNI baru Marsekal Hadi Tjahyanto memang sepenuhnya hak prerogratif Presiden Jokowi. Namun menurut penilaian saya, ada beberapa kriteria pencalonan Panglima TNI pengganti Pak Gatot, yang diabaikan oleh presiden. Sepertinya Presiden Jokowi tidak meminta masukan dari berbagai kalangan yang kompeten di internal TNI, sebelum memutuskan penunjukan Panglima TNI baru.

Misalnya, dalam hal pengalaman jabatan dan pengalaman operasi, yang kalau menurut catatan saya sangat mninim. Meskipun dari pengalaman pendidikan, latarbelakang keluarga dan kondite, saya kira Panglima baru cukup baik dan tidak ada masalah. Namun terkait minimnya pengalaman jabatan dan operasi, penunjukan Panglima TNI baru Hadi Tjahyanto benar-benar menggusarkan diri saya. Sebab kualitas seorang panglima TNI mauoun kepala staf angkatan terletak pada kemampuannya membuat perencanaan dan pengambilan keputusan yang bersifat stategis. Bukan sekadar taktis dan teknis.

Mengabaikan hal itu, menurut saya, berarti pemerintah telah melakukan intervensi atau campur tangan ke dalam internal institusi TNI. Yang menurut saya tidak bisa dibenarkan.

Menurut saya, kalaupun saat ini memang giliran Angkatn Udara dalam rotasi kepemimpinan di TNI, saya kira masih banyak perwira-perwira tinggi TNI-AU yang lebih kompeten dan berpengalamnan untuk dipertimbangkan sebagai Panglima TNI. Berdasarkan pertimbangan pengalaman jabatan dan pengalaman operasi.

Kedua, sebelum Pak Gatot secara resmi diganti oleh Marsekal TNI Hadi Tjahyanto, secara hakiki masih memegang wewenang penuh sebagai Panglima, sehingga berhak penuh dan saha sesuai tatanan dan aturan yang berlaku di TNI, untuk mengeluarkan kebijakan Rotasi kepemimpinan di dalam tubuh ketiga angkatan di dalam TNI. Karena semuanya diolah dan diputuskan melalui Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi). Artinya sudah sesuai prosedur dan tahapan. Sama sekali tidak ada yang salah dalam hal kewenangan yang diambil Pak Gatot.

Sehingga kalau pemerintaham Presiden Jokowi mengabaikan mutasi 85 perwira tinggi TNI, hakikinya pemerintah telah “mengkudeta” kewenangan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Soal kudeta mengkudeta ini, akarnya menurut saya disebabkan karena UUD 1945 telah dikudeta oleh UUD 2002. Meskipun disamarkan seakan-akan yang berlaku sekarang adalah UUD 1945 hasil empat kali amandemen. Lha kalau hulunya saja dikudeta, ya pantas saja kudeta mengkudeta jadi kebiasaan buruk. Inilah yang kita saksikan di partai politik, di dewan perwakilan daerah, di asosiasi bisnis seperti KADIN pun terjadi. Ini sangat berbahaya sekali kalau virus ini berkembang juga di dalam tubuh TNI.

Saya yang kebetulan pada krisis Mei 1998 jelang lengsernya Presiden Suharto selaku Komandan Jendral Marinir Angkatan Laut, merasakan ironi kalau melihat perkembangan sekarang. Pada Mei 1998 saya mati-matian melalui korps saya Marinir, mencegah adanya kudeta militer. Lha ternyata kemudian, malah terjadi kudeta konstitusi oleh DPR/MPR pada 2002 lalu. Ketika UUD 2002 yang berkedok UUD 1945 hasil empat kali amandemen, telah mengkudeta UUD 1945 asli yang sangat berhaluan liberal. Dan tidak lagi dijiwai oleh Pancasila.

Ketiga. ini terkait dengan perlakuan terhadap TNI dalam dua kasus lokal baik di Poso beberapa waktu lalu, dalam momen penangkapan Santoso. Dan dalam kasus Papua. Sebab saya tahu persis, kontribusi TNI dalam mengatasi kedua krisis tersebut sangatlah besar. Termasuk kontribusi dari beberapa anak buah saya dari Denjaka. Denjaka adalah Detasemen Jala Mangkara Atau dikenal dengan nama DENJAKA sejatinya merupakan sebuah detasemen Khusus Marinir Angkatan Laut Anggotanya merupakan Gabungan dari anggota Komando Pasukan Katak (KOPASKA) dan Batalion Intai Amfibi (TAIFIB).

Namun sikap pemerintah maupun liputan media arus utama, terkesan yang berjasa hanya institusi Polri saja. Menurut saya ini penzholiman terhadap TNI. Tentu saja kami tidak menuntut balas jasa, karena itu memang sudah tugas kewajiban TNI ketika kedaulatan nasional berada dalam bahaya. Sebab terkait peran Santoso dan terorisme di Poso, jelas ini bukan sekadar soal kriminal biasa. Melainkan sudah mengarah pada ancaman terhadap kedaulatan nasional. Sehingga dalam kejadian ini, saya tahu persis TNI ikut berperan, dan karenanya ada jasanya juga. Mengesampingkan peran dan kotribusi TNI, menurut saya ini selain tidak proporsional dan tidak adil. Menurut saya ini sudah mauk kategori penzholiman terhadap institusi TNI.

Begitu juga soal Papua, malah lebih menggelisahkan saya sebagai anggota TNI. Bayangkan saja. Gerakan Separatis Papua yang jelas-jelas tujuan strategisnya adalah untuk memisahkan diri dari NKRI kok disebut Kelompok Kriminal Bersenjata. Bagi saya, apa yang terjadi terkait penculian di Papua itu, tetap harus dipandang sebagai bagian integal dari Gerakan Papua Merdeka untuk melepaskan diri dari NKRI. Jadi ini bukan sekadar tindak-kejahatan dari sekelompok orang.

Melalui rangkaian yang saya sampaikan tadi, saat ini TNI bukan saja dilemahkan, melainkan juga dizholimi. [akt]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita