GELORA.CO - Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kembali menuai sorotan setelah Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir.
Menyampaikan rencana memberikan bantuan berupa alat-alat olahraga kepada korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Pernyataan tersebut dinilai tidak sensitif terhadap kondisi di lapangan.
Di mana ribuan warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, pakaian, dan tempat tinggal.
Erick dalam keterangannya menyampaikan belasungkawa atas bencana yang telah merenggut korban jiwa.
Namun, alih-alih fokus pada kebutuhan mendesak warga, ia justru menegaskan rencana Kemenpora untuk “mengambil peran”.
Dengan menyalurkan peralatan olahraga beberapa bulan pascabencana.
Erick mengatakan, Nanti pascabencana, mungkin beberapa bulan ke depan kami mulai kembali membahagikan para korban bencana.
"Salah satunya dengan mendistribusikan alat-alat olahraga,” ujar Erick, dikutip dari Antara, Rabu 3 Desember 2025.
Ia menambahkan bahwa Kemenpora sedang menyisir anggaran tahun 2026 untuk program tersebut.
Pernyataan ini menimbulkan reaksi negatif dari publik.
Banyak yang menilai nilai urgensinya amat rendah, terlebih ketika ribuan warga masih berada di pengungsian dengan kondisi darurat.
Di beberapa titik banjir di Sumatra, warga bahkan mengeluhkan lambatnya distribusi logistik dan terbatasnya makanan.
Sementara itu, pemerintah pusat, termasuk presiden dan sejumlah menteri, diklaim Erick sedang bekerja keras menyalurkan bantuan dasar.
Namun pernyataan itu justru mempertegas ironi: kebutuhan mendesak belum terpenuhi, tetapi rencana distribusi alat olahraga sudah digaungkan.
Di lapangan, situasi masih jauh dari kondusif. Banyak daerah terisolasi, bantuan belum merata.
Dan sejumlah desa masih kesulitan mendapatkan listrik maupun layanan medis.
Di beberapa wilayah Aceh Tamiang dan Padang Pariaman, warga bertahan hidup dengan stok seadanya sambil menunggu jalur darat kembali terbuka.
Dalam konteks seperti itu, wacana pengiriman alat olahraga terdengar tidak pada tempatnya.
Para pengamat menilai langkah ini mencerminkan buruknya prioritas dan koordinasi birokrasi.
Kemenpora dinilai terkesan ingin “tetap terlihat bekerja”, meski kontribusinya jauh dari kebutuhan nyata masyarakat.
Sebagian warga korban banjir yang diwawancarai media lokal bahkan mengaku bingung dengan jenis bantuan yang dijanjikan Menpora.
“Kami butuh makanan, bukan bola,” ujar seorang pengungsi di Pidie Jaya. “Rumah habis tersapu air. Apa gunanya alat olahraga sekarang?”
Kritik lain juga muncul terkait minimnya detail bantuan yang disebut Erick.
Ia tidak menjelaskan jenis peralatan olahraga apa yang akan diberikan ataupun bagaimana mekanisme pendistribusiannya.
Janji itu terdengar terburu-buru dan menimbulkan pertanyaan apakah benar-benar direncanakan atau hanya sekadar retorika publik.
Kemenpora berdalih bantuan tersebut merupakan upaya jangka panjang untuk mendukung pemulihan mental dan sosial korban bencana.
Namun tanpa kejelasan strategi dan prioritas, wacana tersebut justru mempertebal citra.
Bahwa pemerintah tidak sepenuhnya memahami kebutuhan warga yang sedang berjuang bertahan hidup.
Bagi sebagian masyarakat, pernyataan Menpora ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh lemahnya sensitivitas pejabat terhadap derita korban bencana.
Sementara warga masih menunggu logistik yang telat dan lambat, para pejabat malah sibuk menyusun agenda yang jauh dari kebutuhan dasar.***
.webp)