KSAD Minta Media Tidak Mengekspos Kekurangan Pemerintah dalam Penanganan Bencana Sumatera

KSAD Minta Media Tidak Mengekspos Kekurangan Pemerintah dalam Penanganan Bencana Sumatera

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO
- Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak meminta media massa tidak mengekspos kekurangan pemerintah dalam penanganan bencana di sejumlah wilayah Sumatera. Pernyataan tersebut disampaikan di tengah sorotan publik atas keterbukaan informasi bencana dan kritik dari organisasi pers terkait dugaan pembatasan pemberitaan.

Maruli mengakui adanya berbagai kekurangan dalam penanganan bencana. Namun, ia meminta agar kekurangan tersebut disampaikan langsung kepada pemerintah dan aparat, bukan melalui pemberitaan media.

“Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspose lewat media,” kata Maruli di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, seperti dilansir Tempo.co

Menurut Maruli, prajurit TNI saat ini bekerja membantu penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ia menyebut tiga anggota TNI meninggal dunia saat menjalankan tugas kemanusiaan.

“Anggota saya tiga orang meninggal. Ada dua keluarga yang suaminya meninggalkan rumah, keluarganya habis anak istrinya,” ujarnya.

Ia menegaskan para prajurit telah bekerja siang dan malam, termasuk di tengah hujan, namun masih dinilai bekerja lamban oleh sebagian pihak. Penilaian tersebut, kata Maruli, tidak mencerminkan kondisi kerja anggota di lapangan.

“Sudah bekerja siang malam, malah dibilangnya pengerahannya. Kehujanan tengah malam seperti itu, terus dibilangnya lambat,” katanya.

KSAD juga menilai pemerintah membutuhkan dukungan media dalam situasi bencana. Ia meminta media dan aparat saling bekerja sama serta menyampaikan informasi langsung kepada TNI untuk perbaikan penanganan.

“Kita harus bekerja sama, kita harus kompak semua. Kasihan yang terkena bencana, kondisinya memang rumit,” ujarnya.

Pernyataan Sikap Komite Keselamatan Jurnalis

Sementara itu, pada hari yang sama, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyampaikan sikap resmi mengenai dugaan pembatasan informasi bencana di Sumatera. KKJ menilai telah terjadi pembatasan informasi bencana secara masif dan sistematis dalam beberapa hari terakhir di wilayah Sumatera. Praktik tersebut dinilai sebagai ancaman serius terhadap kemerdekaan pers, hak publik atas informasi, dan keselamatan warga di tengah situasi darurat bencana.

Dalam siaran pers yang diterima Pintoe.co,  KKJ mengungkap sejumlah peristiwa yang dianggap mencerminkan pola pembungkaman informasi. Di antaranya intimidasi aparat TNI terhadap jurnalis Kompas yang meliput bantuan internasional, penghapusan total pemberitaan bencana di detik.com, serta penghentian siaran dan praktik sensor diri oleh CNN Indonesia TV saat melaporkan kondisi langsung dari lokasi bencana.

KKJ menyebut laporan-laporan tersebut memuat kondisi faktual di lapangan yang bertolak belakang dengan narasi resmi pejabat negara. Karena itu, rangkaian peristiwa ini dipandang sebagai upaya serius untuk mengendalikan arus informasi publik dan menutup fakta bencana yang sebenarnya terjadi.

KKJ menegaskan bahwa intimidasi dan pembatasan terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tindakan tersebut, menurut KKJ, berpotensi memenuhi unsur pidana menghalang-halangi kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, dan tidak dapat dihapus melalui upaya perdamaian informal.

Selain itu, KKJ menilai negara diduga aktif membatasi hak atas informasi warga negara. Pembatasan pemberitaan bencana dianggap melanggar Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Dalam konteks bencana, pembatasan ini dinilai tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keselamatan publik karena masyarakat tidak memperoleh gambaran utuh mengenai situasi darurat.

KKJ juga mengingatkan bahwa intervensi negara terhadap pemberitaan berpotensi menjadikan negara sebagai produsen disinformasi. Ketika ruang verifikasi dan kritik ditutup, pernyataan pejabat yang tidak akurat atau menyesatkan berisiko dibiarkan tanpa koreksi, bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan kepentingan publik dalam negara hukum dan demokrasi.

Atas dasar itu, KKJ mendesak Presiden RI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada jurnalis yang mengalami intimidasi dan pembatasan liputan, sekaligus segera menetapkan status bencana nasional. KKJ juga meminta Presiden menjamin perlindungan penuh terhadap kerja pers di wilayah bencana, menghentikan pernyataan pejabat yang tidak sesuai fakta, serta memastikan publik memperoleh informasi yang akurat dan faktual.

Selain kepada Presiden, KKJ meminta Dewan Pers berperan aktif menekan negara agar memenuhi kewajibannya melindungi kemerdekaan pers. Perusahaan media juga didesak menjamin keselamatan jurnalis dan menolak segala bentuk sensor, pembatasan, maupun pengaburan informasi terkait bencana di Sumatera.

KKJ sendiri merupakan aliansi 11 organisasi pers dan masyarakat sipil yang dideklarasikan di Jakarta pada 5 April 2019 untuk melawan impunitas atas kekerasan terhadap jurnalis, termasuk AJI, LBH Pers, SAFEnet, IJTI, YLBHI, AMSI, Amnesty International Indonesia, PWI, dan PFI.[]

Sumber: pintoe
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita