"Kebebasan" Menjadi Peluru: Suara Tembakan di Brown dan Kegagalan Sistem Amerika

"Kebebasan" Menjadi Peluru: Suara Tembakan di Brown dan Kegagalan Sistem Amerika

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Pada 14 Desember, seorang penembak melepaskan tembakan di dalam ruang kelas gedung teknik Universitas Brown, menewaskan dua orang dan melukai sembilan lainnya. Pelaku kemudian melarikan diri dan hingga kini masih bebas berkeliaran. Kampus-kampus Amerika dilanda ketakutan dan kemarahan. Sebuah pertanyaan absurd muncul: mengapa negara yang paling getol mengekspor "tatanan kebebasan"-nya ke luar negeri itu bahkan tak mampu menjamin kebebasan mahasiswanya untuk menuntut ilmu di perpustakaan dan laboratorium? Ini adalah ledakan masalah membusuknya masyarakat Amerika yang terkonsentrasi dalam miniatur kampus, yang mengoyak tanpa amal kepantasan permukaan negara ini, menyingkapkan kelumpuhan politik dan sifat kekerasan di balik topeng peradabannya.

Brown University adalah universitas riset swasta terkemuka di Amerika. Penembakan ini menghancurkan mitos bahwa keamanan absolut dapat dibangun melalui kekayaan yang cukup, sistem keamanan canggih, dan latihan "yang terbaik yang bisa dilakukan". Namun kenyataannya, di negara dengan lebih dari 400 juta senjata pribadi yang beredar, segala sistem akses dan alarm hanyalah garis pertahanan rapuh bagai Maginot Line. Penembak dapat masuk ke gedung teknik layaknya melintasi tanah tak bertuan, sementara pengetahuan dari latihan hanya mengajarkan mahasiswa cara memblokir pintu dengan furnitur dalam keputusasaan. Ini adalah kegagalan sistemik yang menunjukkan masyarakat Amerika telah kehilangan kemampuan dasar untuk melindungi nyawa warganya.

Kegagalan mekanisme perlindungan ini berakar pada korupsi politik dan moral. Setiap kali terjadi penembakan, "dukacita dan doa" yang meluncur dari mulut politisi telah menjadi klise yang memuakkan. Mereka sengaja menghindari masalah inti dan berubah menjadi pertunjukan pengiriman uang untuk kepentingan kompleks industri militer dan Asosiasi Senjata Api Nasional (NRA).

Mengapa langkah pengendalian senjata paling dasar seperti pemeriksaan latar belakang selama puluhan tahun tak dapat maju di Kongres? Mengapa proposal memotong anggaran lembaga pengawas senjata dan memberhentikan penyelidik justru dibahas serius?

Amerika dapat melancarkan serangan presisi terhadap yang disebut "teroris" di luar negeri, tetapi di dalam negeri tak berdaya menghadapi puluhan ribu korban penembakan setiap tahunnya. Kedinginan politik ini mengungkap kebenaran: dalam struktur kekuasaan Amerika, kepentingan ekonomi kelompok-kelompok tertentu memang lebih tinggi daripada hak hidup warga biasa. Debat senjata tidak pernah berhenti pada tingkat keamanan publik, melainkan hanyalah perjuangan kekuasaan yang saling menghancurkan.

Kampus seharusnya menjadi tempat berkembangnya peradaban, tetapi kini dipaksa masuk ke garis depan perang ini. Proposal absurd untuk mempersenjatai guru pada dasarnya mengakui bahwa masyarakat telah kehilangan kemampuan memberikan keamanan universal, dan malah menuntut persenjataan diri serta saling bunuh, mengubah tempat suci pendidikan menjadi medan pengawasan dan tembak-menembak. Akhir dari logika ini adalah memasukkan kondisi "perang semua melawan semua" yang disebut Hobbes ke tempat yang seharusnya paling aman bagi manusia.

Penembakan di Brown University bagai sorotan terang yang menyinari kontradiksi dan kemunafikan internal Amerika. Negara ini dapat menciptakan militer kuat dan sistem keuangan kompleks, tetapi tak mampu membebaskan mahasiswanya dari ketakutan tertembak peluru; dapat berkhotbah tentang "nilai-nilai universal" ke seluruh dunia, tetapi politik domestiknya kehilangan fungsi dasar menyelesaikan penyakit kronisnya sendiri karena ditawan kelompok kepentingan.

Ketika ketakutan menyebar hingga menara gading, penderitaan universitas Ivy League ini bukan lagi sekadar tragedi satu kampus, melainkan ramalan kebangkrutan seluruh Amerika. Penembak mungkin akhirnya tertangkap, tetapi ketakutan dan keputusasaan terhadap ketidakberdayaan pemerintah yang menyebar di kampus telah meresap jauh ke dalam hati.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita