ICW–KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26 Miliar, 29 Berpangkat Perwira!

ICW–KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26 Miliar, 29 Berpangkat Perwira!

Gelora News
facebook twitter whatsapp
ICW–KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26 Miliar, 29 Berpangkat Perwira!

GELORA.CO -
  Organisasi independen Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) resmi melaporkan 43 anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ke lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan tindak pidana pemerasan bernilai puluhan miliar rupiah yang diduga terjadi dalam rentang waktu 2022 hingga 2025.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah menyampaikan bahwa total nilai dugaan pemerasan dalam laporan tersebut mencapai Rp26,2 miliar dan mencakup empat perkara berbeda.

“Empat kasus yang berbeda antara lain, pertama, kasus pembunuhan. Kedua, kasus terkait dengan penyelenggaraan konser DWP. Ketiga, pemerasan yang dilakukan di daerah Semarang, Jawa Tengah, yang melibatkan anggota kepolisian dan korbannya adalah remaja. Terakhir, kasus pemerasan terkait dengan jual beli jam tangan,” terang Wana, Selasa, 23 Desember 2025.

14 Bintara, 29 Perwira


Dari total 43 personel Polri yang dilaporkan, Wana menyebut 14 orang berpangkat bintara dan 29 orang perwira. Seluruhnya disebut telah menjalani proses etik di internal kepolisian.

ICW dan KontraS, kata Wana, sengaja membawa perkara ini ke KPK setelah Komisi Kode Etik Polri menjatuhkan sanksi etik kepada para terlapor.

Putusan etik tersebut dinilai menjadi pijakan hukum atau yurisprudensi awal bagi KPK untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi.

“Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK telah menjelaskan bahwa ada wewenang yang dimiliki oleh KPK untuk menindak dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, terutama Kepolisian dan Kejaksaan,” katanya.

Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Sanksi Etik Bukan Solusi


Lebih lanjut dirinya menegaskan, apabila laporan ini tidak ditindaklanjuti, maka hal tersebut berpotensi menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Kami khawatir kasus-kasus demikian akan dinormalisasi, sehingga pada akhirnya hanya dijadikan sebagai pelanggaran etik semata,” ujarnya.

Kekhawatiran itu diperkuat dengan temuan bahwa sejumlah personel Polri yang telah dijatuhi sanksi etik justru memperoleh promosi jabatan.

“Salah satu perwira yang kami identifikasi adalah berinisial RI yang mana ketika sudah mendapatkan sanksi etik, dia mendapatkan promosi,” katanya.

Fakta tersebut pula yang menjadi alasan ICW dan KontraS tidak melaporkan kasus ini ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri, melainkan langsung ke KPK sebagai lembaga independen di luar struktur kepolisian.

Laporan ini sekaligus menjadi ujian bagi lembaga antirasuah itu dalam menegakkan prinsip equality before the law, khususnya ketika dugaan tindak pidana korupsi melibatkan aparat penegak hukum sendiri.***
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita