GELORA.CO -Greenpeace Indonesia melontarkan kritik keras terhadap rangkaian bencana ekologis yang melanda Sumatera. Organisasi lingkungan global ini menyebut tragedi tersebut bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan bentuk kejahatan ekosida yang sistematis akibat perpaduan deforestasi masif dan krisis iklim dunia.
“Ini adalah pertemuan antara deforestasi dan krisis iklim. Unsurnya jelas: terencana, sistematik, dan berdampak masif. Itu memenuhi unsur kejahatan ekosida,” ujar Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid, kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 18 Desember 2025.
Khalisah mengungkapkan, perhitungan Celios menunjukkan kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp68,8 triliun, dan angka itu baru mencakup kerusakan infrastruktur, belum termasuk biaya pemulihan sosial dan ekologis.
“Krisis iklim ini tidak ujug-ujug datang. Ia lahir dari kebijakan ekonomi yang eksploitatif,” katanya.
Menurutnya, dorongan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpotensi memperparah kerusakan lingkungan.
“Target 8 persen itu sangat berbahaya. Lima persen saja sudah sangat ugal-ugalan jika paradigma ekonominya masih eksploitatif,” tegasnya.
Khalisah mengingatkan agar gagasan taubat ekologis tidak berhenti pada wacana moral semata.
“Jangan sampai taubat ekologis menjadi ‘taubat sambel’, dibicarakan hari ini, tapi kebijakan eksploitatif tetap diproduksi,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa taubat ekologis harus menjadi refleksi bersama, bukan hanya umat beragama, tetapi juga para pengelola negara.
“Yang perlu bertobat bukan hanya individu, tapi juga paradigma ekonomi dan politik. Spiritualitas agama harus dimaknai ulang untuk melindungi kehidupan,” lanjutnya.
Greenpeace juga mendorong agar politik hijau menjadi agenda prioritas nasional, termasuk percepatan regulasi perlindungan lingkungan dan pengesahan kebijakan seperti RUU Masyarakat Adat.
“Kami tujukan pesan ini kepada para politisi: kebijakan harus melindungi rakyat dan alam, bukan sebaliknya,” pungkas Khalisah.
Sumber: RMOL
