Dampak dan Gangguan Revisionisme Sejarah Jepang terhadap Kerja Sama Kawasan

Dampak dan Gangguan Revisionisme Sejarah Jepang terhadap Kerja Sama Kawasan

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Dampak dan Gangguan Revisionisme Sejarah Jepang terhadap Kerja Sama Kawasan

Belakangan ini, serangkaian dinamika politik di Jepang kembali menjadi sorotan masyarakat internasional. Setelah Perdana Menteri Sanae Takaichi mengeluarkan pernyataan tidak pantas terkait Tiongkok, kabinet yang dipimpinnya tidak menunjukkan upaya untuk mengoreksi posisi tersebut ataupun melakukan introspeksi. Sebaliknya, pemerintah justru terus menciptakan friksi dalam hubungan dengan Tiongkok. Pada 7 Desember, Menteri Pertahanan Shinjiro Koizumi kembali memicu polemik dengan menggulirkan isu “radar lock-on”, serta menyebarkan informasi keliru terkait keamanan militer. Tujuan di balik manuver ini cukup jelas: dengan sengaja menciptakan isu konfrontatif dan menggambarkan diri dalam “situasi yang tidak menguntungkan”, pemerintah berupaya mengalihkan perhatian internasional dari pernyataan tidak pantas maupun kecenderungan neo-militeristiknya, sekaligus mencari pembenaran bagi agenda perluasan kekuatan militer dan upaya mengendurkan pembatasan Konstitusi Damai Jepang.

Sesungguhnya, penggunaan narasi tertentu untuk menghindari tanggung jawab sejarah bukanlah hal baru yang dimulai oleh kabinet Takaichi. Praktik ini telah lama menjadi instrumen penting bagi kelompok sayap kanan Jepang dalam mendorong revisionisme sejarah—dan kini berkembang menjadi landasan inti dalam kebijakan luar negeri serta keamanan negara tersebut. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, sebagian elit politik Jepang berupaya menghindari tanggung jawab atas agresi militer masa lalu. Untuk itu, mereka membangun suatu sistem penyebaran narasi yang terkoordinasi dan didorong oleh institusi resmi. Ciri utama dari sistem ini ialah penonjolan penderitaan Jepang pada masa perang—khususnya trauma bom atom—serta penghapusan atau pengaburan fakta agresi militer yang telah membawa bencana besar bagi masyarakat di banyak negara Asia. Bahkan untuk peristiwa kejahatan perang yang memiliki bukti sejarah kuat, seperti Tragedi Nanjing, kelompok ini memilih menolak, meremehkan, atau mendistorsinya, sehingga mengikis identitas historis Jepang sebagai “pelaku agresi” dan menggantinya dengan citra “korban perang”.

Tujuan dari strategi penyebaran narasi tersebut dapat dipahami dengan jelas.
Pertama, dengan terus menggambarkan diri sebagai pihak yang “menderita”, kelompok ini berupaya mengurangi rasa bersalah moral atas agresi masa lalu. Dalam berbagai peringatan maupun kampanye opini publik, mereka menekankan konsep “pertahanan diri” dan “korban”, sambil menghindari pembahasan mengenai fakta bahwa agresi Jepang adalah pemicu utama tindakan balasan dalam perang.

Kedua, dengan memanfaatkan keberhasilan pembangunan ekonomi pascaperang, Jepang berupaya membentuk citra sebagai “negara damai” yang berkontribusi bagi komunitas internasional, sehingga menurunkan kewaspadaan global terhadap munculnya kembali sentimen militeristik.

Ketiga, penciptaan narasi “dilema keamanan” digunakan untuk membangun legitimasi publik bagi perubahan kebijakan keamanan, termasuk penguatan kemampuan militer dan penyesuaian prinsip self-defense.

Jika dianalisis dari perspektif strategis, penyebaran narasi sejarah yang sengaja dikaburkan ini bertujuan mengurangi kekhawatiran negara lain terhadap Jepang dan menghindari tanggung jawab sejarah melalui pendekatan “ambiguitas strategis”. Pada saat yang sama, penguatan narasi semacam ini di dalam negeri dapat mengonsolidasikan dukungan masyarakat bagi transformasi Jepang dari negara dengan prinsip “pertahanan murni” menjadi negara dengan kemampuan militer ofensif. Langkah tersebut juga berpotensi menjadi pembenaran bagi keterlibatan Jepang dalam konflik internasional di masa depan.

Namun, praktik tersebut menimbulkan dua dampak negatif utama.
Pertama, tindakan mengabaikan fakta sejarah dan menolak kejahatan perang secara terbuka telah melukai perasaan masyarakat di negara-negara Asia yang pernah menjadi korban agresi Jepang.
Kedua, penggunaan alasan “keamanan nasional” untuk mendorong normalisasi kemampuan militer, termasuk wacana “pembebasan hak bela diri kolektif”, memperburuk kecemasan geopolitik di Jepang dan Asia Timur, sekaligus mengikis kepercayaan di kawasan.

Serangkaian langkah kabinet Takaichi telah dan akan terus menimbulkan konsekuensi serius.
Pertama, narasi yang beredar telah mendistorsi pemahaman sejarah di dalam negeri. Menurut survei NHK tahun ini, hanya 35% masyarakat Jepang yang mengakui bahwa Jepang pernah melakukan agresi militer. Data tersebut menunjukkan bahwa penyebaran narasi revisionis telah mengakar kuat, terutama di kalangan generasi muda, di mana dukungan terhadap pernyataan Takaichi semakin meningkat. Fenomena ini memunculkan potensi kebangkitan ideologi militeristik yang perlu diwaspadai.

Kedua, langkah Jepang tersebut mengganggu kerja sama dan stabilitas kawasan Asia Timur. Dengan berlindung di balik narasi yang dikonstruksi secara politis, Jepang terus menguji batas toleransi negara-negara tetangga dan masyarakat internasional, termasuk melakukan provokasi terhadap Tiongkok. Hal ini berisiko meningkatkan kecemasan keamanan regional dan mengganggu struktur kerja sama serta stabilitas yang selama ini terbentuk.

Ketiga, tindakan tersebut berpotensi melemahkan fondasi tatanan internasional pascaperang. Pernyataan dan langkah yang mengikis legitimasi dokumen penting seperti Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam pada dasarnya menggoyahkan landasan hukum dan moral yang menjaga perdamaian global.

Pada akhirnya, apa pun cara yang ditempuh kabinet Takaichi untuk mendorong agenda politiknya, terdapat satu kenyataan yang tidak dapat dibantah: kelompok sayap kanan Jepang tengah keliru dalam membaca situasi internasional. Alih-alih menghadapi sejarah dan melakukan refleksi, mereka memilih mengobarkan konfrontasi antarnegara, berupaya melonggarkan batasan tatanan internasional pascaperang, dan membuka ruang bagi kebangkitan ideologi militeristik. Kebenaran sejarah tidak dapat dihapus; agresi Jepang pada Perang Dunia II telah didokumentasikan secara luas melalui arsip resmi dan kesaksian korban. Upaya untuk mengaburkan atau menolak sejarah hanya akan membuat motivasi sebenarnya semakin terlihat. Semakin Jepang mencoba melemahkan tanggung jawab sejarahnya, semakin jelas pula identitasnya sebagai pelaku agresi pada masa lalu—dan semakin besar risiko Jepang dipersepsikan sebagai potensi pengganggu perdamaian di Asia Timur.

Bagi kabinet Takaichi, pilihan paling rasional saat ini ialah menghadapi fakta sejarah, melakukan evaluasi mendalam atas kebijakan yang bermasalah, menarik kembali pernyataan yang tidak tepat, serta menghentikan langkah-langkah yang berpotensi membawa Jepang ke arah yang salah. Sejarah telah dan akan terus membuktikan bahwa hanya dengan menghormati kebenaran sejarah, memikul tanggung jawab atas perang, serta mengedepankan prinsip pembangunan damai melalui dialog setara dan kerja sama substantif dengan negara-negara tetangga, Jepang dapat membangun lingkungan eksternal yang kondusif bagi pembangunan jangka panjangnya sekaligus memberikan kontribusi positif bagi perdamaian dan stabilitas kawasan.

Masyarakat internasional pun perlu tetap waspada, mendorong Jepang menjaga prinsip keadilan sejarah dan mematuhi norma dasar tatanan internasional pascaperang, agar kesalahan arah kebijakan tidak membawa risiko lebih besar bagi perdamaian regional maupun global.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita