GELORA.CO - Penangkapan belasan warga Sibolga yang terlibat aksi penjarahan minimarket menyisakan cerita panjang tentang krisis, kelaparan, dan lambatnya distribusi bantuan di tengah bencana.
Di satu sisi, polisi menegaskan bahwa penjarahan adalah tindakan kriminal yang tetap harus diproses hukum.
Namun di sisi lain, sebagian warga mengaku terpaksa mengambil barang karena persediaan makanan habis dan akses logistik terputus.
Polres Sibolga menangkap 16 pelaku yang diduga melakukan penjarahan di sejumlah minimarket, mulai dari Indomaret, Alfamart, hingga Alfamidi.
Para pelaku disebut mengambil barang-barang kebutuhan pokok seperti mie instan, gula, minuman kemasan, dan sabun.
Polisi menyebut penindakan ini perlu dilakukan untuk mencegah aksi serupa yang dapat mengganggu keamanan dan merugikan pelaku usaha.
AKP Rustam E Silaban Mengatakan "Para pelaku diamankan di lokasi berbeda dengan barang bukti berupa makanan ringan, minuman, dan sejumlah barang kebutuhan rumah tangga"
Dilansir inilah.com. Namun, di tengah proses hukum tersebut, muncul narasi berbeda dari warga.
Beberapa dari mereka mengaku tindakan itu terjadi karena kelaparan yang sudah berlangsung berhari-hari sejak bencana banjir dan longsor melanda wilayah tersebut.
Pasokan logistik belum sepenuhnya menjangkau permukiman yang terisolasi akibat akses jalan rusak.
Sejumlah warga bahkan menyebut bantuan baru tiba setelah insiden penjarahan viral di media sosial.
Pengakuan sebagian pelaku yang mengaku hanya ingin memberi makan keluarga mereka memunculkan dilema moral.
Ada pula yang menyatakan siap mengganti barang yang diambil jika kondisi sudah memungkinkan.
Cerita-cerita seperti ini memunculkan simpati publik namun sekaligus memantik perdebatan mengenai batas antara bertahan hidup dan tindakan melanggar hukum.
Pihak kepolisian sendiri memahami situasi di lapangan, namun tetap menegaskan bahwa penjarahan tidak dapat dibenarkan.
Aparat mengerahkan personel bersama TNI untuk berjaga di beberapa titik minimarket dan memperketat patroli guna memastikan tidak ada lagi aksi serupa.
Langkah ini diambil demi menjaga ketertiban dan memastikan pasokan barang tetap terjaga bagi masyarakat secara umum.
Sementara itu, pemerintah daerah dan tim penanggulangan bencana menyatakan tengah mempercepat distribusi bantuan.
Mereka mengakui adanya hambatan akses akibat kerusakan jalan, terutama di kawasan pinggiran Sibolga yang terdampak paling parah.
Penyaluran logistik kini dilakukan melalui jalur alternatif serta memanfaatkan kendaraan taktis untuk mencapai wilayah yang sebelumnya sulit dijangkau.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar dari publik.
Di mana bantuan ketika warga menghadapi kondisi kelaparan?
Banyak yang menilai bahwa dalam kondisi genting seperti ini, respons cepat dapat mencegah tindakan-tindakan nekat masyarakat.
Pemerintah diharapkan melakukan evaluasi agar penanganan bencana ke depan lebih efektif, baik dalam hal koordinasi maupun distribusi kebutuhan darurat.
Di sisi lain, sebagian warganet mengecam tindakan penjarahan dan mendukung langkah tegas aparat.
Namun ada pula yang menilai bahwa konteks kemanusiaan tidak boleh diabaikan.
Perdebatan ini menandai betapa kompleksnya situasi di lapangan di mana bencana alam, krisis pangan, rasa takut, dan kebutuhan dasar bertemu dalam satu momen.
Kini, pasca penangkapan dan peningkatan pengamanan, situasi Sibolga mulai terkendali.
Namun pekerjaan rumah besar masih menanti memastikan warga mendapatkan bantuan secara merata.
Memastikan akses dibuka kembali, dan mencegah agar tragedi kelaparan tidak kembali mendorong warga bertindak di luar kendali.
Penangkapan para pelaku menjadi satu bagian dari cerita besar tentang sebuah kota yang berjuang di tengah bencana dan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup.
Sumber: pojok1
