0Leh: Agus Wahid
“SAYA sudah jalan ke mana-mana. Ke berbagai negara. Semua kereta cepat memang merupakan investasi sosial”. Itulah sepenggal kalimat Presiden Prabowo Subianto menyinggung mega proyek kereta api cepat Whoosh ketika meresmikan stasiun Tanah Abang Baru, 5 November 2025 lalu. Are you sure, Mr. President?
Apakah diksi “Semua” merupakan copy paste dari omongan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan kaum Projo yang selama ini selalu mengumandangkan kereta cepat merupakan investasi sosial dan itu sengaja didesain dari awal sebagai proyek rugi? Alamaak, hebat kali negeri ini. Atau, diksi “Semua” merupakan data verbal yang sengaja disiapkan atau diselipkan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mencatat, kereta api cepat memang ada di berbagai negara. Di satu sisi, kereta api cepat memang merupakan kebutuhan karena tuntutan bisnis. Bahkan, juga merupakan tren global.
Menurut data Artificial Intelligent (AI), di Asia terdapat kereta api cepat di Jepang (Shinkansen), China (CR400 Fuxing dan Shanghai Maglev), Korea Selatan (KTX-Sancheon) dan Taiwan. Di Eropa terdapat di Prancis (TGV), Jerman (ICE), Italia (Trinitalia Frecciarossa 1000), Spanyol Renfee AVE).
Kereta api cepat di Eropa juga terdapat di Belgia, Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Rusia, Serbia, Swedia, Turki, Britania Raya. Di Afrika juga terdapat kereta api cepat Al-Buroaq di Maroko. Terdapat juga di Amerika Serikat. Di Asia Barat, terdapat di Arab Saudi (Haramain High Speed Railway) dan Uzbekistan.
Yang perlu kita garis bawahi, pertama – kecepatan minimal kereta api cepat kisaran 250-an km/jam hingga 460 km/jam. Rerata 330-350 km/jam. Dengan kecepatan seperti itu, minimal jarak kereta api cepat kisaran 500 km. Maksimal seperti yang dimiliki “Fuxing” Beijing-Shanghai mencapai 1.318 km.
Mencermati jarak perjalanan itu, maka kehadiran kereta api cepat memang rasional. Ada prinsip nilai efisiensi bagi yang menggunakannya. Dan prinsip ini menjadikan pertimbangan utama menghadirkan kereta api cepat. Motifnya bisnis. Tak bisa dipungkiri, kecepatan tempuh sangat dibutuhkan oleh kalangan pebisnis.
Dan kereta api cepat menjadi alternatif dari pesawat terbang. Memang, seperti China, ada dua motif yang mendasari pembangunan kereta api cepat. Di samping bisnis, juga motif gengsi. Agar tercatat sebagai negara maju.
Wajar China mengejar gengsi. Karena, pertumbuhan ekonomi China relatif tinggi. Dalam masa sekitar sepuluh tahun terakhir, pertumbuhannya rata-rata mencapai 7,3 persen, kecuali saat Covid (2020) yang mengalami anjlok: 2,2 persen. Masih bagus terjadi pertumbuhan (plus). Sementara, negeri Konoha ini, pertumbuhannya minus 2,07 persen.
Yang perlu kita catat, capaian pertumbuhan China mewajarkan negeri Tirai Bambu membangun proyek mercusuar. Demi gengsi di mata dunia. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam masa sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonominya hanya 4,89 persen. Dengan tingkat pertumbuhan sekecil ini, di mana logika rasionalnya untuk membanggakan diri? Ngaca atuh… Ingin meninggalkan legacy? It`s okay. Tapi, tetap harus ngukur diri. Bukan besar pasak daripada tiang. Juga, melihat urgensinya, karena di hadapannya menghadapi realitas kemiskinan masyarakat, atau gap sosial-ekonomi yang tetap menganga lebar.
Dengan posisi keuangan negara yang masih loyo seperti itu kok bicara investasi sosial. Sangat tidak makes sense. Yang ada justru pemikiran pat gulipat: mencari kesempatan besar di balik kue besar pembangunan kereta api cepat yang mencapai Rp119,3 triliun. Dan di balik itu menurut Ubaidillah Badrun, Jokowi mengantongi sekitar Rp510 miliar dari megaproyek Whoosh itu. Meski catatan Ubaidillah Badrun ini perlu diselidiki lebih jauh, yang jelas ada satu hal yang harus dicatat dari logika di balik megaproyek kereta api cepat. KEBOHONGAN yang terus dipelihara, sampai saat ini.
Indikasi kebohongan atau gaya pat-gulipat tersebut sejatinya sudah diketahui oleh sejumlah pejabat negara saat itu seperti Ignasius Jonan dan Andrinof Chaniago, sehingga keduanya langsung dipecat dari posisinya. Kedua Menteri itu tidak bicara masalah kebohongan, tapi proyeknya tidak feasible. Landasannya, jarak Jakarta-Bandung yang dinilai terlalu dekat: hanya 142,3 km. Jarak ini bisa ditempuh kendaraan lain yang lebih efisien, terutama dari dan ke stasiun Whoosh. Dan hal ini terbukti dengan daya belinya yang memang rendah. Tak sesuai ekspektasi.
Satu hal lagi yang sangat krusial untuk ditelaah lebih jauh. Mendasarkan catatan AI pula, sebagai hal kedua - data robotic ini sama sekali tidak menginformasikan bahwa bahwa motif pembangunan kereta api cepat sebagai proyek investasi sosial.
Maka, menggaris-bawahi pernyataan Prabowo “Semua proyek kereta api cepat itu investasi sosial” mendorong pertanyaan yang sangat mendasar: apakah pernyataannya merupakan kesimpulan deduktif yang jelas kurang data? Sangat boleh jadi, memang ada yang bermotif investasi sosial. Tapi, AI tidak menginformasikan motif itu. Maka, publik menilai, pernyataan Prabowo lebih merupakan sikap latah: mengikuti pikiran LBP dan kaum Projo. Bisa jadi juga, diksi “SEMUA kereta api cepat merupakan investasi sosial” sengaja disisipkan atau dibisiki Kepala KSP, Muhammad Qodari.
Harus dicatat, ketiga komponen manusia itu jelas-jelas ingin menjerumuskan Prabowo. Di satu sisi, mereka berusaha menelanjangi Prabowo di hadapan rakyat negeri ini. Karena, pernyataannya jelas-jelas mengarah para statement kebohongan publik. Jika dikaitkan dengan kebohongan Jokowi yang selama ini telah terukir, maka Prabowo tergolong ikut “meneguhkan hipokrasi (kebohongan publik) Jokowi”.
Sungguh disayangkan pernyataan yang meneguhkan hipokrasi itu. Sebagai sosok yang cerdas tidak semestinya larut atau ikut-ikutan karakter pembohong itu. Publik – secara luas – sudah mencatat sang Jokowi manusia pembohong. Untuk menutupi kebohongannya terpaksa harus berbohong dan berbohong, sampai ajal menjemputnya. Itulah teorinya dan realitas kecenderungannya. Dan itu pula trademark seorang Jokowi. Mosok sih Prabowo harus larut pada karakter minus itu? Innaa lillaahi.
Akhirnya, kita perlu menggaris-bawahi, sebagai bukti Prabowo lepas dari bayang-bayang Jokowi, sudah saatnya menjauhkan diri dari karakter minus Jokowi. Bahkan dan hal ini jauh lebih substantif, jauhkah format kebijakan atau perilaku kekuasaan yang tetap melindungi jatidiri Jokowi dan keluarganya. Biarkan hukum bicara tegas. Mereka harus mempertanggungjawabkan dosa-dosanya terhadap puluhan juta anak bangsa ini, tidak hanya di medan ekonomi, tapi juga politik. Untuk sektor politik, Prabowo harusnya sangat merasakan getirnya “dikalahkan” secara terstruktur, sistemik dan masif pada pilpres 2014 dan 2019.
Sikap tegas Prabowo semata-mata demi hukum dan keadilan substantif. Inilah yang ditunggu rakyat. Tak perlu memainkan aliran politik abstrak, yang mendorong rakyat menebak-nebak arahnya. Rakyat sudah gedek alias muak, menanti irama politik realis. Untuk menonton karma sang Jokowi dan keluarganya.
Sekali lagi, Prabowo tak seharusnya berselancar politik yang bermakna meneguhkan hipokrasi. Agar Presiden tak tercemari lagi dosa besar kebohongan publik itu.
(Analis politik dan pembangunan)
