GELORA.CO - Ketegangan antara Presiden ke 7 Joko Widodo dan PDI Perjuangan kembali mengemuka.
Setelah Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia Ahmad Ali menyatakan bahwa Jokowi “tidak pernah dihargai” oleh partai yang dulu mengusungnya.
Pernyataan itu disampaikan Ali dalam Rakorwil PSI se-Sulawesi Tenggara di Kendari, Jumat 21 November 2025.
Dan langsung menarik perhatian publik karena mencerminkan dinamika politik baru pasca Jokowi lengser dari kursi presiden.
Menurut Ali, rekam jejak Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo hingga akhirnya dua kali menjabat sebagai presiden adalah perjalanan yang didorong oleh kehendak rakyat.
Ali menyebut, sejak awal Jokowi bukan hadir sebagai figur yang didorong elit partai, melainkan representasi harapan rakyat yang ingin melihat perubahan.
Ali menegaskan, Beliau didorong masyarakat untuk menjadi wali kota.
Ketika dia menjadi wali kota, dia berkarya untuk masyarakat. Dia menjaga kepercayaan masyarakat,” kata Ali dalam forum tersebut.
Namun, Ali menilai bahwa dukungan rakyat itu tidak diimbangi penghargaan dari PDIP.
Ia menyebut Jokowi justru hanya dijadikan alat politik oleh partai berlambang banteng tersebut.
Klaim ini menjadi sorotan, terutama karena PDIP selama satu dekade dikenal sebagai partai utama yang mengusung Jokowi dalam dua kali Pilpres.
Ali menggambarkan bagaimana perjalanan politik Jokowi yang disebutnya “dipaksa rakyat” untuk naik tingkat.
Mulai dari Wali Kota, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI.
Namun, menurutnya, dorongan itu bukan datang dari internal partai, melainkan dari publik luas yang menaruh kepercayaan kepada Jokowi.
“Beliau kemudian di partainya, yang dulu diklaim sebagai partainya, tapi tidak pernah dihargai di sana,” ucapnya.
Sejak tak lagi menjabat presiden, hubungan antara Jokowi dan PDIP tampak semakin renggang.
Berbagai pernyataan dari elite partai dan sikap politik PDIP kerap dibaca publik sebagai kritik bahkan penegasan jarak terhadap Jokowi.
Situasi ini diperkeruh dengan munculnya tuduhan-tuduhan kepada Jokowi setelah ia tak lagi memiliki kekuasaan formal.
Dalam konteks inilah, Ali menyebut tidak mengherankan jika Jokowi kini memikirkan masa depan keluarganya, termasuk karier politik putra putranya.
Menurut Ali, pengalaman selama berada di PDIP membuat Jokowi sadar bahwa dukungan politik tidak selalu linier dengan dedikasi atau kontribusi.
Apakah salah kalau kemudian beliau juga memikirkan putra-putranya?
"Yang sedangkan beliau sendiri ketika menjabat jadi presiden tidak pernah dihargai. Dikuyuh-kuyuh di sana,” kata Ali.
Ali menegaskan bahwa PSI tidak ingin hanya menjadi partai yang menikmati popularitas Jokowi, tetapi juga partai yang berdiri di barisan depan ketika Jokowi diserang.
Sikap ini direpresentasikan dengan pernyataan Ali yang tegas, bahkan keras.
“Jangan hanya mau memanfaatkan Pak Jokowi sebagai patron politik kita, tapi kemudian ketika orang menghina dia, menghajar dia, terus kita semua diam,” ujarnya.
Situasi ini menambah kompleksitas peta politik Indonesia setelah pergantian pemerintahan.
Dengan PSI kini menegaskan kedekatannya dengan Jokowi, dan PDIP mempertegas jaraknya.
Publik menyaksikan realignment atau pergeseran poros politik baru yang mungkin membentuk dinamika lima tahun ke depan.
Seiring ketegangan yang makin terlihat, relasi Jokowi dan PDIP.
Kemungkinan akan terus menjadi salah satu isu utama politik Indonesia, terutama menjelang kontestasi politik berikutnya.
Poin yang kini jelas adalah setelah satu dekade berkuasa, Jokowi menghadapi babak politik baru yang penuh tantangan, dan PSI ingin menjadi pihak yang berdiri di sisinya.***
