Pelajaran dari Taipei-Taichung: Rasionalitas yang Hilang di Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Pelajaran dari Taipei-Taichung: Rasionalitas yang Hilang di Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: TEUKU GANDAWAN XASIR*
   

KERETA cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diresmikan pada 2023 dengan gegap gempita, dibingkai sebagai simbol modernitas dan kebangkitan transportasi nasional. Namun, setelah gemuruh seremoni itu mereda, muncul pertanyaan yang lebih jernih: apakah proyek ini benar-benar dibangun atas dasar rasionalitas ekonomi, atau sekadar ambisi politik yang dikemas dengan jargon kemajuan? 

Untuk menjawabnya perlu melihat ke Taiwan, negara yang sudah lebih dulu membangun jalur cepat Taipei-Taichung dengan tantangan teknis serupa, tetapi hasil yang jauh berbeda.

Jalur Jakarta-Bandung sepanjang 142 km melintasi kawasan padat dan pegunungan yang rawan gempa. Jalur Taipei-Taichung sedikit lebih panjang, sekitar 165 km, juga menembus wilayah dengan kontur menantang. Namun, biaya keduanya menunjukkan jurang besar dalam efisiensi. KCJB menelan dana sekitar 7,3 miliar Dolar AS, naik dari rencana awal 6 miliar Dolar AS atau menjadi sekitar 51 juta Dolar AS per km. 




Taiwan High Speed Rail (THSR) di Taiwan, dengan standar keselamatan jauh lebih tinggi dan teknologi Jepang yang sudah teruji, hanya menelan sekitar 36-40 juta Dolar AS per km untuk segmen serupa. Padahal, Taiwan membangun dengan ketelitian teknik anti-gempa, operasi padat, dan kapasitas lintasan dua kali lipat KCJB.

Perbedaan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga cara berpikir. Taiwan membangun jalur cepatnya setelah dua dekade studi permintaan berbasis data konkret: survei asal-tujuan perjalanan, elastisitas harga tiket, hingga proyeksi pertumbuhan ekonomi tiap koridor. Mereka tahu siapa penumpangnya dan berapa banyak yang benar-benar mau membayar untuk kecepatan. Hasilnya terukur, okupansi di atas 70 persen sejak tahun kelima, dan break-even dalam waktu 12 tahun.

Indonesia, sebaliknya, mengambil keputusan dulu, baru menyiapkan studi. Beberapa ekonom menyebutnya “justifikasi setelah keputusan”. Proyeksi penumpang KCJB mencapai 30-31 ribu orang per hari, namun realisasi 2025 hanya sekitar 16-18 ribu. Setengah dari target. Sementara biaya sudah membengkak, dan struktur pembiayaannya bukan murni komersial, melainkan pinjaman dari China Development Bank dengan bunga 2-3,4 persen. 

Dalam skenario konservatif, berbagai lembaga memperkirakan titik impas baru tercapai setelah 40 tahun, masa yang lebih lama dari umur ekonomis sebagian infrastruktur penunjang. Patut diduga, realitanya proyek ini dibangun dengan keyakinan, bukan dengan hitungan. Dan celakanya keyakinan yang tidak dibatasi data sering kali berakhir menjadi utang yang memberatkan.

Di Taiwan, efisiensi bukanlah hasil keberuntungan, melainkan disiplin. Mereka menerapkan skema Build-Operate-Transfer (BOT), di mana pemerintah hanya menanggung lahan dan regulasi, sementara operator swasta menanggung seluruh biaya konstruksi. Risiko komersial ditanggung pelaksana, bukan rakyat. 

Di Indonesia, model Business-to-Business (B2B) untuk KCBJ yang digembar-gemborkan dengan 75 persen berasal dari pinjaman (terutama dari China Development Bank) dan 25 persen berasal dari modal ekuitas pemegang saham justru malah berujung semu. Ketika proyeksi meleset, risiko finansial tetap kembali ke negara, bukan ke para mitra bisnis.

Jika benar proyek ini disebut sebagai proyek dengan “misi sosial”, untuk mempercepat mobilitas rakyat dan pemerataan wilayah, maka semestinya sejak awal menggunakan APBN secara penuh. Negara tidak perlu berpura-pura bahwa ini proyek komersial bila tujuannya sosial. Tidak perlu menciptakan konstruksi B2B yang rapuh agar tampak tidak membebani anggaran, sementara akhirnya tetap harus diselamatkan negara. 

Bila pemerintah kini mengambil alih tanggung jawab demi menjaga reputasi Indonesia di mata investor asing, itu tentu saja langkah terhormat. Tetapi kehormatan fiskal tidak boleh menutup mata terhadap tanggung jawab moral. Jika ada kebusukan dalam proses investasi, maka yang harus menanggung bukan rakyat, melainkan para pengambil keputusan dan oknum yang bermain di baliknya. Tidak boleh sebuah proyek bermasalah menjadi preseden bahwa setiap kesalahan korporasi BUMN dapat diserap oleh APBN atas nama “kepentingan nasional”. Itu bukan kedaulatan, itu pembiaran yang dibungkus nasionalisme.

Dari sisi konektivitas, perbedaan semakin terasa. Taiwan sejak awal merancang sistemnya sebagai jaringan multimoda. Dari stasiun THSR Taipei, penumpang dapat langsung terhubung ke MRT, bus, bahkan bandara. Waktu tempuh door-to-door Taipei-Taichung hanya 45 menit, jauh lebih cepat daripada mobil yang butuh 2-3 jam. 

KCJB sebaliknya, berhenti di Stasiun Padalarang atau Stasiun Tegalluar, jauh dari pusat Bandung. Penumpang harus berganti moda dengan feeder train atau bus yang menambah waktu paling tidak 15-30 menit. Total perjalanan Jakarta–Bandung menjadi 1,5 jam paling cepat atau 1,5-2 jam tergantung dari mana berangkatnya dari Jakarta. Bisa dibilang nyaris mendekati waktu tempuh dengan naik mobil lewat tol. Ini sekaligus menjelaskan mengapa mobil pribadi masih mendominasi dari segi frekuensi pergerakan dan jumlah total kendaraan di jalan raya pada rute Jakarta-Bandung. Mayoritas masih menikmati perjalanan yang lebih santai dengan mampir di rest area dan tidak ada keterburu-buruan untuk segera masuk atau keluar Bandung.

Kecepatan rel tanpa integrasi hanyalah ilusi kemajuan. Sebuah infrastruktur berkecepatan tinggi yang tidak terhubung dengan sistem mobilitas publik justru menurunkan efisiensi ekonomi. Taiwan memahami prinsip ini sejak awal. Indonesia belum. Kita membangun kereta cepat, tetapi lupa bahwa perjalanan dimulai dari rumah dan berakhir di tempat kerja atau tujuan, bukan di stasiun terpencil. Kecepatan bukanlah kemajuan jika tidak mengubah cara hidup rakyat.

Dari sisi teknis, kedua negara menghadapi risiko geologis serupa: tanah vulkanik dan gempa. Namun Taiwan merancang sistem rekayasa dengan standar tinggi, termasuk base isolation system yang mampu menahan gempa besar tanpa merusak struktur. Indonesia juga membangun terowongan dan jembatan panjang, tetapi biaya konstruksi melonjak karena adaptasi desain dan keterbatasan pengalaman lokal. Biaya yang semula untuk efisiensi berubah menjadi beban karena improvisasi tanpa kesiapan industri pendukung.

Kini, muncul pula wacana memperpanjang jalur cepat hingga Surabaya. Panjangnya 700 kilometer, biayanya diperkirakan bisa menembus 30-45 miliar Dolar AS. Tetapi sampai hari ini, belum ada studi demand baru yang terbuka, belum ada analisis IRR independen, dan belum ada jaminan integrasi moda antarkota. Jika pendekatan “percaya dulu, hitung nanti” kembali diulang, maka hasilnya bisa lebih buruk. 

Taiwan tidak akan pernah memulai proyek semacam itu tanpa memastikan internal rate of return di atas 8 persen dan proyeksi balik modal dalam 15 tahun. Indonesia justru memulainya dengan slogan: “kita harus punya.” Padahal harusnya kebanggaan tidak bisa dijadikan metode pembangunan, kecuali kita dalam posisi berkelimpahan anggaran dan kebingungan mau bangun apa lagi selanjutnya.

Begitupun kereta cepat Jakarta-Bandung bukan pula sebuah kegagalan total. Ia memberi pelajaran teknis, melatih para insinyur, dan menambah kapasitas transportasi. Tapi keberhasilannya terbatas pada simbol, bukan pada substansi. Ia menjadi cermin bagaimana keinginan politik bisa menyalip rasionalitas ekonomi, bagaimana kepentingan bisnis lalu diramu seolah sebuah proyek sosial, dan bagaimana tanggung jawab negara dijadikan alat cuci tangan bagi inefisiensi birokrasi.

Jika proyek ini benar-benar ingin disebut “misi sosial”, maka seharusnya negara menanggungnya dengan jujur sejak awal, bukan membungkusnya dengan skema utang berlapis yang akhirnya dibayar oleh rakyat juga. Dan jika pemerintah ingin menjaga reputasi Indonesia di mata dunia, maka itu harus disertai keberanian untuk mengusut siapa saja yang membuat investasi ini membusuk. Karena reputasi sejati tidak dibangun dari menutup-nutupi masalah, melainkan dari keberanian memperbaikinya.

Dari Taipei-Taichung, kita belajar satu hal: rasionalitas adalah pondasi kemajuan. Di Indonesia, rasionalitas sering kalah oleh gengsi. Padahal, bangsa yang besar bukanlah yang punya kereta tercepat, melainkan yang berani menghentikan diri sebelum menabrak logika. 



(Penulis adalah konsultan dan pakar di Institut Strategi Indonesia, praktisi IT dan Komunikasi Korporasi, Ketua Bidang Kajian Kebijakan Nasional IA-ITB, dan mahasiswa Magister Komunikasi Krisis Universitas Pancasila)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita