GELORA.CO - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menjelaskan secara terbuka alasan di balik penyembunyian sembilan elemen data pada salinan ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Penjelasan tersebut mengemuka dalam sidang sengketa informasi yang digelar Komisi Informasi Pusat (KIP), Senin (24/11/2025), setelah hakim mempertanyakan sejumlah informasi yang tampak ditutupi atau dihitamkan dalam dokumen tersebut.
Perwakilan KPU menyampaikan bahwa langkah itu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Menurut mereka, informasi yang ditutup merupakan bagian dari data pribadi yang wajib dilindungi sesuai ketentuan perundang-undangan, terutama dalam konteks administrasi kependudukan.
“Karena kami sebagai badan publik itu melakukan prinsip kehati-hatian dalam melindungi data pribadi. Oleh karena itu, kami memedomani undang-undang administrasi kependudukan,” ujar perwakilan KPU dalam sidang, Selasa (25/11/2025).
Sembilan Informasi yang Dihitamkan
KPU mengonfirmasi bahwa ada sembilan bagian dari salinan ijazah Jokowi yang tidak dapat ditampilkan secara utuh kepada publik. Elemen-elemen itu meliputi:
- Nomor induk mahasiswa (NIM)
- Tanggal lahir
- Tempat lahir
- Nomor ijazah
- Nomor kertas ijazah
- Tanda tangan pejabat legalisir
- Tanggal legalisasi
- Tanda tangan Rektor UGM
- Tanda tangan Dekan Fakultas Kehutanan UGM
Dokumen-dokumen itu sebelumnya menjadi bahan perdebatan publik dalam polemik keaslian ijazah Jokowi yang mencuat beberapa kali, terutama ketika muncul permohonan informasi publik terkait persyaratan administrasi calon presiden pada Pemilu 2014 dan 2019.
Dokumen Terbuka, tetapi Terbatas
Meski demikian, KPU mengakui belum melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang dihitamkan. Uji konsekuensi menjadi aspek penting dalam menentukan apakah suatu data dapat dikecualikan berdasarkan potensi risiko yang mungkin muncul apabila dibuka untuk publik.
“Bahwa kami belum melakukan uji konsekuensi tetapi bahwa dokumen tersebut, berkas tersebut itu memang terbuka tetapi terbatas,” ujar mereka.
KPU menegaskan bahwa sifat “terbatas” tersebut merujuk pada konteks data pribadi. Karena itulah, beberapa bagian yang dianggap tidak dapat dipublikasikan secara penuh harus dilindungi.
Pemohon Sengketa Nilai KPU Tidak Transparan
Di sisi lain, pemohon sengketa, Bonatua Silalahi, menilai KPU justru menyembunyikan informasi yang seharusnya dapat diakses publik. Menurutnya, sembilan informasi yang dihitamkan pada ijazah tersebut baik dalam dokumen tahun 2014 maupun 2019 bukan bagian yang seharusnya dirahasiakan.
“Adapun yang kami mau sengketakan adalah banyaknya hal-hal yang disembunyikan yang dikasih ijazah ini baik di 2014 atau 2019 tanpa disertai adanya surat uji konsekuensi,” ujar Bonatua dalam persidangan.
Ia menambahkan bahwa nomor kertas ijazah, nomor ijazah, NIM, tanggal lahir, hingga tanda tangan legalisir merupakan dokumen umum yang menurutnya tidak semestinya disensor.
“Saya juga merasa tidak puas karena ada sembilan item yang disembunyikan yang menurut saya itu dokumen umum yang sudah banyak orang tahu,” tegasnya.
Selain itu, Bonatua mengkritik KPU karena dinilai terlambat memberikan dokumen publik terkait salinan ijazah Jokowi, terutama saat pengajuan permohonan pada 2014. Menurutnya, dokumen baru diberikan setelah ia mengajukan sengketa ke KIP.
KPU Pertahankan Sikap
Meski mendapat sorotan, KPU tetap mempertahankan kebijakan penyembunyian data itu. Mereka menyebut perlindungan data pribadi sebagai kerangka utama yang membatasi keterbukaan informasi, sekalipun dokumen tersebut berada dalam kategori dokumen persyaratan calon presiden.
Pada saat bersamaan, KPU juga menegaskan bahwa dokumen autentik ijazah Jokowi berada di bawah kewenangan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), sedangkan KPU hanya memegang salinannya.
Dengan polemik ini, sidang sengketa informasi masih akan berlanjut hingga putusan final KIP terkait apakah sembilan data yang disembunyikan itu termasuk kategori informasi publik atau informasi pribadi yang dapat diecualikan menurut undang-undang.
