GELORA.CO - Isu keaslian ijazah mantan Presiden Jokowi belum menemukan titik terang meskipun berkali-kali pihak UGM memberikan penegasan.
Beriringan dengan itu, video lama pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, yang menilai pandangan beberapa pihak mulai menunjukkan logika yang patut dipertimbangkan kembali viral.
“Kalau saya perhatikan, saya dengar juga kan, apa yang dianu oleh Roy Suryo, Rismon, sama dr. Tifa, lama-lama masuk akal juga,” ujar Prof. Jimly dalam tayangan YouTube Refly Harun, Senin (20/10/2025).
Jimly mengatakan, persoalan yang awalnya berfokus pada keaslian dokumen pendidikan Jokowi kini berkembang ke berbagai arah, sehingga substansi awalnya justru kabur.
“Kalau dilihat, inti persoalan dulu kan hanya soal ijazah. Tapi sekarang melebar ke banyak hal lain,” jelasnya.
Ia mencontohkan, sejumlah kasus hukum yang muncul justru lebih menyoroti reaksi terhadap isu tersebut, bukan substansi utamanya.
“Misalnya karena Jokowi merasa diperlakukan tidak adil, dia mengadu, pengaduannya pencemaran nama baik, ada lagi kayak siapa namanya, Gus Nur, itu kan pemidanaannya tidak terkait dengan ijazah. Tapi menyebarkan berita bohong di Medsos,” tukasnya.
Baginya, proses hukum yang berjalan saat ini lebih banyak menyentuh sisi pidana sekunder daripada pokok masalah.
“Jadi pemidanaan itu bukan pada substansi,” tegasnya.
Agar polemik ini tidak terus berlarut, Jimly mengusulkan adanya forum netral dan sah secara hukum untuk menuntaskan persoalan secara terbuka.
"Kalau menurut saya memang begini, kita harus mencarikan forum yang netral untuk memutus. Dan memang kalau dicari, misalnya ada usul tim independen, itu tetap aja harus memutus," tandasnya.
“Nah forum pemutus yang paling mungkin bisa dipercaya asal dikelola dengan baik, pengadilan. Cuma forum pengadilan yang mana?” tambahnya.
Sebelumnya, pakar telematika Roy Suryo menjadi salah satu pihak yang paling vokal mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi.
Ia juga mengaku menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang sedang dihadapinya.
“Lucu, dalam undangan itu tidak ada terlapornya. Padahal sudah disebut-sebut di mana-mana. Tapi dalam surat resmi itu nggak ada. Kalau nggak ada terlapor, kita nggak wajib melakukan klarifikasi,” kata Roy kepada fajar.co.id, Kamis (15/5/2025) lalu.
Roy juga mempertanyakan bukti-bukti yang dijadikan dasar pemanggilan oleh aparat.
“Saya tanya, mana dokumen yang dilaporkan? Nggak ada, Pak. Loh, gimana penyidiknya ini,” tegasnya.
Ia bahkan menyindir adanya dugaan rekayasa bukti untuk menjerat para pengkritik pemerintah.
“Misalnya seseorang ngirim bukti transfer kepada teman-teman, tapi direkayasa. Rp1 juta dijadikan Rp10 juta. Nah, itu yang bisa dipidana. Bukan kami yang tidak melakukan manipulasi apapun terhadap barang elektronik,” tukasnya.
Roy mengaku selama pemeriksaan yang mencapai 24 pertanyaan, sebagian besar tidak relevan dengan surat pemanggilan.
“Pertanyaan-pertanyaan itu melenceng dari surat pemanggilan. Saya berhak menolak menjawab karena tidak sesuai. Itu hak warga negara sesuai UUD 1945,” cetusnya.
Ia menilai, kasus ini sarat dengan upaya kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang berani mengkritik.
“Ada kader partai yang klaim ini ijazah asli, tapi pemilik ijazah sendiri nggak pernah akui itu. Lah, kalau mau jujur, dia yang bisa kena pasal 8 sampai 12 tahun,” imbuhnya.
Roy menutup dengan pesan agar publik lebih kritis menyikapi kasus ini.
“Kalau terlapor saja tidak ada, bisa jadi semua keterangan kita tidak diakui. Apalagi kalau terlapor itu justru presiden sendiri,” tandasnya.
Sumber: fajar