Kamboja Tuding Thailand Pasang Sound Horeg 'Suara Hantu' di Perbatasan

Kamboja Tuding Thailand Pasang Sound Horeg 'Suara Hantu' di Perbatasan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO
- Presiden Senat Kamboja, Hun Sen, menuduh Thailand memasang sound horeg yang disebut “suara hantu” bernada tinggi di sepanjang perbatasan yang bersengketa. Tudingan itu dilontarkan usai Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Kamboja meminta PBB menyelidiki serangan psikologis yang dilakukan oleh Thailand.

Hun Sen, yang juga mantan perdana menteri Kamboja, mengatakan bahwa Komisi HAM Kamboja telah mengirim surat kepada PBB untuk menyelidiki suara intens bernada tinggi yang menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan bagi warga yang tinggal di dekat perbatasan.

Menurut organisasi HAM, sejak 10 Oktober, suara-suara rekaman dengan volume tinggi seperti suara hantu, tangisan anak kecil, lolongan anjing, gemerincing rantai, dan deru helikopter disiarkan melalui pengeras suara pada malam hari.

Insiden ini terjadi setelah Kamboja dan Thailand sepakat untuk melakukan gencatan senjata di perbatasan yang disengketakan, usai perundingan di Malaysia pada Juli lalu.

Kesepakatan itu mengakhiri bentrokan terburuk antara kedua tentara dalam satu dekade terakhir yang menewaskan hampir 40 orang dan membuat ratusan ribu warga mengungsi.

Pada Kamis lalu, Hun Sen membagikan surat tertanggal 11 Oktober dari komisi tersebut kepada Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk. Dalam surat itu disebutkan bahwa taktik tersebut merupakan pelanggaran serius.

"Pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, dengan menggunakan suara-suara mengganggu sebagai bentuk intimidasi dan gangguan psikologis," demikian isi surat itu dikutip dari Independent, Rabu (22/10).

"Suara-suara ini, yang digambarkan sebagai bunyi bernada tinggi dan berlangsung lama, telah mengganggu tidur, memicu kecemasan, serta menyebabkan ketidaknyamanan fisik bagi penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, lansia, orang sakit, dan penyandang disabilitas," lanjut isi surat itu.

Hun Sen mengatakan ia telah berbicara dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, untuk memberitahukan soal dugaan serangan psikologis dengan suara tersebut.

Ia menyampaikan terima kasih kepada Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang telah membantu menengahi gencatan senjata, namun mengakui situasi di perbatasan masih tetap tegang.

Koalisi Hak Anak Kamboja (Child Rights Coalition Cambodia) menyatakan pemutaran suara bising yang dilakukan Thailand berdampak buruk pada kesehatan mental anak-anak, memicu gejala trauma dan kecemasan.

"Pertama, hal ini memengaruhi kesehatan mental anak-anak. Ketika ada kebisingan, terutama suara yang menakutkan dan tidak aman, tidur mereka terganggu. Suara keras dan menakutkan sering menyebabkan anak-anak mengalami mimpi buruk dan serangan panik di malam hari," kata Yan Lay, direktur eksekutif organisasi tersebut.

"Gangguan ini juga berdampak pada pendidikan mereka sehari-hari. Banyak anak takut pergi ke sekolah pagi atau sore. Saat mereka merasa takut, mereka tidak bisa berkonsentrasi belajar," tambahnya.

Menurut laporan The Nation, seorang influencer dan aktivis Thailand bernama Kannawat Pongpaibulwech mengaku bertanggung jawab atas penyiaran suara keras di sepanjang perbatasan, dengan izin dari Angkatan Darat Thailand yang mengawasi keamanan wilayah tersebut.

Ia mengeklaim tujuannya adalah untuk mengusir warga Kamboja yang dianggap menduduki wilayah Thailand.

Bentrokan selama lima hari pada Juli lalu menyebabkan kedua pihak saling menembakkan artileri dan serangan udara di sepanjang wilayah perbatasan yang disengketakan. Konflik itu menjadi yang paling mematikan dalam lebih dari sepuluh tahun terakhir.

Kekerasan bermula di titik panas dekat kuil kuno Ta Moan Thom di Provinsi Surin, Thailand, dan dengan cepat menyebar ke area lain yang disengketakan. Pejabat Kamboja menuduh Thailand melancarkan serangan udara dan menjatuhkan bom di jalan-jalan wilayah Kamboja.

Gencatan senjata yang dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, akhirnya dicapai pada 28 Juli setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan telah berbicara dengan para pemimpin Thailand dan Kamboja. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita