DN Aidit dan Jokowi

DN Aidit dan Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp
DN Aidit dan Jokowi

Oleh: Agus Wahid
Analis Politik

SANGAT melegenda di Tanah Air ini. Boleh jadi, namanya pun terukir hebat di negeri Tiongkok ataupun Uni Soviet. Itulah Ahmad Aidit, putra seorang tokoh agama dari sebuah ormas keagamaan besar di negeri ini. Anak kelahiran Belitung ini semasa kecilnya dikenal sebagai anak taat beragama. Rajin mempelajari ilmu-ilmu agama (Islam). Suaranya yang keras dan indah menjadikan dirinya sering tampil sebagai muadzin di masjid kampungnya. Bahkan sering tampil sebagai “qari” sebagai pendahuluan sebuah sebuah acara pengajian.

Ahmad Aidit yang cerdas ini banyak mempelajari sistem sosialisme yang tertuang dalam ajaran Islam, terutama dalam hal prinsip keadilan sosial-ekonomi. Juga, mempelajari sikap tegas Islam yang anti kemiskinan dan keharusan memerangi sistem yang mengakibatkan kemiskinan. 

Tapi, agresivitas otaknya menjadi kebablasan. Ahmad Aidit–karena salah pergaulan–lebih tertarik pada diskursus pemikiran sosialisme kiri revolusioner. Jadilah dirinya pengagum ideologi komunis. Namanya pun berubah. Setelah menjadi tokoh komunis ternama di Tanah Air, namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit atau yang lebih dikenal dengan DN Aidit. 

Nama DN Aidit kian melegenda, karena gerakan revolusioner dalam merebut kekuasaan. Bukan mengambil kekuasaan dengan paksa dari tangan Soekarno selaku Presiden RI saat itu. Tapi, memberondong sejumlah jenderal aktif Angkatan Darat yang dinilai sebagai penghalang besar misi besar dalam mengkomuniskan Indonesia pada 1965.

Misinya gagal total. Dan akhirnya, DN Aidit–setelah rencana mengkudeta bertahap gagal, pada 2 Oktober harus melarikan diri ke Jawa Tengah: di antaranya Semarang, Boyolali dan Solo. Sekitar dua bulan melarikan diri dan bersembunyi pada sejumlah rekan seideologisnya, akhirnya DN Aidit berhasil ditangkap oleh satuan Angkatan Darat. Ia bersembunyi di balik lemari rahasia.

Setelah melalui introgasi intensif, gembong utama komunis ini dihukum mati: diberondong oleh juru tembak. Di belakang sumur tua yang sudah disiapkan, DN Aidit diberi kesempatan bicara. Bukan memohon maaf atau bertaubat, tapi justru berpidato dengan penuh gelora. Masih tetap mengumandangkan ideologi komunis dan mengajak rakyat Indonesia untuk mengikuti jejaknya.

Itulah sosok DN Aidit yang tak bisa diragukan militansinya sebagai komunis tulen (sejati). Luar biasa. Bisa jadi melebihi maha gurunya: Mao Tse Tung (Ketua Partai Komunis China) kala itu. Atau Nikita Khrushchev (pengganti Stalin yang wafat pada 1953). Meski demikian, DN Aidit yang hebat dan militan itu sejatinya gagal total dalam berstrategi. Di satu sisi, Aidit berhasil “menaklukkan” Soekarno hingga Presiden pertama RI ini menganakemaskan PKI di Tanah Air. Sebuah kebijakan politik yang menimbulkan reaksi massif dan ekstensif dari kalangan ulama dan aktivis muslim di berbagai lapisan karena menganalisa potensi bahayanya.

Secara politik–melalui pemilu pertama 1955, PKI berhasil memperoleh suara terbesar keempat setelah PNI, Partai Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama. Data menunjukkan PNI meraih 8.434.653 suara (22,32 persen) atau 57 kursi). Masyumi meraih 7.903.886 suara (20,92 persen) tapi jumlah sama: 57 kursi. Partai Nahdlatul Ulama 6.955.141 suara (18,41 persen) 45 kursi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memperoleh 6.179.914 (16,36 persen) atau 39 kursi. 

Meski sebagai ranking keempat, perolehan suara PKI dapat dinilai signifikan. Partai ini mengungguli 26 partai kontestan lainnya. Dan hal ini jelaslah merupakan geliat politik PKI yang membuat bangsa Indonesia yang tergolong agamis menjadi terperangah. Bukan hanya kagum, tapi cemas. Karena karakter agresif-revolusionernya dalam memusuhi kaum agamis. Dan ini berarti ancaman serius bagi kehidupan umat bahkan negara pada umumnya. Dan kalkulasi politiknya terbukti secara empirik.

Dari sisi kebijakan politik, Aidit berhasil menggulirkan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Juga, PKI berhasil menyusup ke institusi militer (Angkatan Udara, Laut dan Darat). Namun, keberhasilan infiltrasi itu gagal ketika merebut kekuasaan sah RI yang siap digantikan ideologinya, dari Pancasila ke komunis.

Itulah drama kegagalan yang dimainkan aktor dramatik DN Aidit dengan sejumlah ante elitnya seperti Nyoto, Lukman, Seobandrio, Kol. Untung dan lain-lain. Yang perlu dicatat, kegagalannya tak lepas dari karakter lokal seorang DN Aidit. Sebagai seorang Sumatera, karakternya progresif. Tidak sabaran. Beda dengan karakter orang Jawa pada umumnya. Hal ini dapat kita telaah setelah sekitar setengah abad berikutnya pasca DN Aidit gagal itu.

DN Aidit Kalah Strategi Dibanding Jokowi


Setelah sekitar setengah abad pasca kegagalan Gerakan 30 September 1965, kita jumpai sosok yang layak kita telaah secara reflektif dalam panggung politik nasional. Sebab, munculnya sosok Jokowi, asli kelahiran Boyolali (Jawa Tengah) mengundang tanya besar, adakah relasi politik-ideologisnya antara Jokowi dengan DN Aidit? 

Sampai detik ini, belum ada identitas yang jelas dan secara terbuka dan gentleman tercatat Jokowi itu komunis yang benar-benar mengibarkan kembali Bendera Palu Arit. Namun, setidaknya ada beberapa indikator yang mengabsahkan identitas Jokowi sebagai komunis. Pertama, Jokowi atau Oey Yo Koh adalah putra kandung Oey Hong Liong (ajudan DN Aidit). Ibunya (Sulami) Sekjen Gerwani. 

Hubungan biologis itu memastikan kedua orang tuanya menyuntikkan paham komunisme pada diri Jokowi selaku puteranya, apalagi ibu kandungnya masih hidup sampai saat ini. Transformasi informasi dari kedua orang tuanya bersifat sangat alamiah. Kepastian ini didasarkan pada karakter sang ideolog, apalagi pasca kegagalan G 30 S PKI, di antara pemberontaknya mendapat sanksi hukuman berat. Hal ini menambah unsur dendam dan tak akan padam sebelum membalas.

Kedua, Megawati Soekarnoputri – seperti yang tersiar dan viral di berbagai media sosial – jelas-jelas menyatakan Jokowi itu PKI. Pernyataan yang sama juga ditegaskan oleh Syamsu Djalal (mantan Danpuspom TNI). “Jokowi memang PKI”, tegasnya tanpa ragu sedikitpun. Dan ketiga, penulis buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI" (Ribka Tjiptaning) juga terang-terangan menegaskan Jokowi itu PKI. Bahkan dia menantang jika keberatan dengan pernyataannya. Keempat, Jokowi sejumlah kebijakannya pasca menjabat sebagai Presiden RI selama dua periode (2014–2024) yang selalu melindungi gerakan komunis baru di Tanah Air. 

Sisi lain, Jokowi juga selalu menunjukkan api permusuhannya terhadap entitas muslim, meski dengan gaya Solo yang halus. Senang mengadu-domba, mengkriminalisasi bahkan mengejar kepada entitas muslim yang suka mengkritisi rezim Jokowi. Dengan data komunis baru pada sosok Jokowi, berbagai elemen meyakini ideologi Jokowi tidak jauh dari PKI, meski bermetamorfosa.

Yang perlu kita tatap lebih jauh adalah strategi Jokowi memasuki kekuasaan. Dia yang penampakannya hanya sebagai tukang kayu atau pebisnis mebel, tapi dirinya berhasil menyembunyikan data pribadinya dan keluarganya, terutama kedua orang tuanya, bahkan saudara-saudara kandungnya. Ia berhasil menyembunyikan ambisi politik-ideologisnya. Diawali masuk menjadi Walikota Solo pada pada 2005–2010, berlanjut ke periode kedua (2010–2015), tapi hanya sampai pada 2012 karena harus meninggalkan posisinya untuk mengikuti kontestasi Gubernur DKI Jakarta. Dan baru menjabat Gubernur sekitar 2 tahun, kursi No. 1 di DKI ini pun ditinggalkan: pada 2014 mengikuti kontestasi kepresidenan RI.

Sungguh mencengangkan banyak elemen masyarakat negeri ini. Sosok yang berpenampilan ndeso dan lugu mampu menghipnotis Jokowi yang sesungguhnya sang ideolog hebat. Penampilannya diidentikan sebagai sosok yang bersih, merakyat, sangat jauh dari bayangan sosok yang bengis-jahat, biadab (ringan membantai lawan politiknya atau para kritikus, terutama dari elemen muslim). Tidak hanya itu. Dirinya pun rakus. Tidak hanya dari sisi kekuasaan politik, tapi juga kue ekonomi yang terhampar luas di Tanah Air ini.

Kelincahan manuvernya bersekongkol dengan para taipan oligarki. Dan untuk mengamankan manuver jahatnya, secara terencana dan sistematis, Jokowi mengangkat orang-orang kepercayaannya yang jelas-jelas non-Islam (nonis) untuk posisi strategis bidang keamanan dan pertahanan, lembaga-lembaga hukum bahkan mengkooptasi lembaga legislatif. Jika harus mengangkat elit muslim, dapat dipastikan, ia atau mereka dari barisan oportunis dan golongan hubbud dunya. Potret para elitis muslim ini sangat mudah dibeli. Mudah tunduk. Rela menjadi budak di bawah ketiak Jokowi.

Semuanya terkuak setelah Jokowi memerintah. Data bicara, tidak hanya mengobrak-abrik sistem politik, ekonomi, tapi juga hukum dan konstitusi. Semuanya aturan ditabrak sepanjang dirinya memiliki kemauan atau ada kepentingan pribadi. Sumber daya alam pun diobral kepada asing (aseng), sehingga kedaulatan negara benar-benar dipertanyakan kekuatannya. Untuk memperlemah kedaulatan negara RI, Jokowi – dengan mudah – mengeluarkan kebijakan “mempermudah” pemberian visa bebas kepada warga China. Juga, memberikan fasilitas perlindungan hukum dan politik terhadap migran China yang bertopeng tenaga kerja asing (TKA).

Yang sungguh hebat adalah, selama perjalanan politiknya, dia tak pernah mengumandangkan diri sebagai manusia komunis, meski sangat benderang arah ideologinya dan kebijakannya. Apapun kata orang atau publik tentang tuduhan ideologi komunis, Jokowi tak pernah mengakuinya secara eksplisit, meski sejumlah slogannya sarat dengan diksi yang sering dikumandangkan kaum komunis pada era 1963–1965.

Kita harus mencatat, sebagai titisan biologis kedua orang tua komunis, Jokowi telah berhasil merengkuh bumi Pertiwi Indonesia selama satu dasawarsa tanpa kudeta yang bersifat militeristik. Meski kudetanya tanpa mengubah benderanya. Merah Putih masih tetap berkibar. Pancasila juga masih tampak “tegar”, walau “miskin” pengejawantahan nilai-nilai atau krisis implementasi. Keberhasilan ini tampaknya menjadi pendorong kuat libido politiknya: memperpanjang kekuasaannya, meski melalui penjagaan ketat keberadaan politik putranya: Gibran yang kini berhasil digadang menjadi Wakil Presiden RI. 

Haruskah Dibiarkan?


Tak bisa disangkal, Jokowi telah banyak membuat kehancuran bangsa dan negara ini. Prabowo yang melanjutkan pemerintahan saat ini tidak hanya harus membenahi warisan kondisi ekonomi, politik, hukum dan sistemnya serta budaya dan alam pikir bangsa ini yang sudah diacak-acak dan rusak berat, tapi juga kerakusan Jokowi yang masih berusaha mengganggu kepentingan nasional. 

Maka, kita selaku rakyat dan Prabowo sebagai kepala negara tidak sepantasnya diam. Jokowi dan para anteknya harus di-delete. Tidak hanya dari panggung politik, tapi juga nafasnya sudah saatnya harus diakhiri. Pendekatannya bisa hukum berat yang seberat-beratnya. Atau, memang hukuman mati.

Dan untuk kasus Jokowi yang sudah melampaui batas wajar, kiranya hukuman mati sungguh tepat bagi sang ideolog komunis sejati yang telah berhasil memporakpandakan bangsa dan negeri ini. Jika DN Aidit harus diberondong karena tindakan kebiadabannya terhadap manusia semata, maka Jokowi jauh lebih pantas untuk menerima hukuman yang setimpal. Sebab, pengrusakannya jauh lebih eksplosif: kepentingan anak bangsa dan negara benar-benar dihancurkan. Kejahatan terhadap lingkungan dan sistem bernegara pun sangat benderang. Yang menderita puluhan juta jiwa. Jauh di bawah jumlah yang dilakukan DN Aidit dan kaum PKI pada umumnya kala itu. Monggo dikuantifikasi secara komparatif. Akan muncul rasio yang logis dan proporsional untuk mendera sang ideolog hebat: Jokowi.

What People Should Do?


Berharap pada Prabowo belum bisa dinanti dengan konkret. Mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini – karena selalu mengkalkulasi dalam pijakan science of strategy – maka Prabowo tak akan pernah memberlakukan tindakan vulgar, seperti halnya pasukan Angkatan Darat menghukum tembak pada DN Aidit. 

Jika demikian, Prabowo – atas nama cinta rakyat dan negara – perlu memberikan toleransi kepada entitas rakyat yang siap mengambil tindakan hukum eigenrichting. Pendekatannya bukan proses hukum prosedural melalui lembaga pengadilan normal. Tapi, gunakan gaya komunis yang mengadili para jenderal di Lubang Buaya pada 30 September 1965 itu. Sadis memang. Tapi, Jokowi memang layak diperlakukan seperti itu. Mengingat tingkat kejahatannya yang sangat thaghut (melampaui batas).

Pertanyaannya, apakah mudah menangkap seorang Jokowi? Tidak. Dia – seperti halnya DN Aidit – pasti akan melarikan diri dan bersembunyi dari satu tempat ke tempat lainnya, apalagi koleganya para pemilik “istana” di berbagai lokasi, termasuk di luar negeri. Menghadapi makhluk “siluman” ini maka harus muncul gerakan rakyat yang terencana. Yaitu, gerakan nasional memburu Jokowi. Tidak hanya di kediamannya di Solo atau di puterinya di Medan, tapi di manapun dia berada. Hal ini berarti, perlu gerakan nasional pengintaian dan bukan dalam jumlah ratusan orang. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi kekuatan bodyguard yang pasti bersenjata.

Yang perlu kita catat, gerakan pengejaran Jokowi – at least – akan berdampak pada pengurangan Jokowi dalam mengganggu pemerintahan Prabowo saat ini. Setidaknya, dia akan menutup diri dari ruang publik. Dia akan terus bersembunyi. Para buzzernya pun akan terkena efek kejut, karena akan menjadi sasaran kemarahan massa di manapun. 

Akhirnya, sebagai anak bangsa dan masih sadar mencintai negeri ini, maka gerakan liar Jokowi harus dihentikan. Tentu dengan cara revolusioner. Pemerintah yang idealnya sejalan dengan kehendak rakyat yang sudah lama didzalimi, perlu merespons positif kegerahan rakyat. Jangan dipandang sebaliknya, meski atas nama HAM dan hukum. Jika gerakan rakyat dipersoalkan secara hukum dan HAM, apakah selama ini Jokowi mempertimbagkan hukum dan HAM dan menghormatinya? No. Jadi, impaslah jika tak perlu landasan hukum dan HAM. Bukan balas dendam. Tapi, inilah asas keadilan.

The last but not least, perlu direnungkan bersama, bagi para Jokower atau buzzernya di manapun berada, sudah saatnya harus menghentikan sanjung puja kepada Jokowi, apalagi sebagai insan beragama yang tentu tak pernah mentolerir kejahatannya terhadap rakyat dan negeri ini, apalagi sangat melampaui batas. Sebab, dukungannya semasa pilpres dan atau selama Jokowi menjalankan pemerintahan menjadi amal buruk yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Sungguh mengerikan. Sebelum ajal tiba dan menghadapi pertanyaan Allah, sungguh tepat jika bertaubat. Lalu stop for everything demi Jokowi. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita