Oleh: Syifak Muhammad Yus*
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik nasional, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, menimbulkan riak respons yang luas di ruang publik. Tidak hanya itu, Presiden juga membebaskan sejumlah terpidana pasal penghinaan terhadap Presiden, yang selama ini menjadi perdebatan dalam ruang kebebasan berekspresi dan hukum pidana Indonesia.
Di tengah iklim demokrasi yang terbuka, perdebatan yang muncul tentu wajar dan sehat. Namun dalam suasana yang penuh emosi dan opini saling silang, dibutuhkan ruang reflektif untuk melihat kebijakan ini secara lebih menyeluruh dan proporsional. Sebab, langkah ini tidak sekadar merupakan keputusan politik atas kasus perorangan, melainkan cerminan dari cara negara mengelola konflik dalam kerangka hukum dan rekonsiliasi kebangsaan yang lebih besar.
Melampaui Dimensi Hukum
Secara historis, pemberian amnesti dan abolisi di Indonesia bukan hal baru. Konstitusi dan tradisi politik kita telah mengenal kedua instrumen ini sebagai bentuk penyelesaian terhadap situasi luar biasa, yang tidak bisa dijawab hanya dengan pendekatan hukum formal. Maka, dalam konteks ini, keputusan Presiden sebaiknya tidak dibaca sebagai bentuk impunitas, melainkan sebagai ekspresi kemauan politik untuk merawat keutuhan nasional dan membangun jembatan pascakonflik politik yang sempat tajam.
Kita juga tidak boleh mengabaikan bahwa proses hukum yang menyentuh para tokoh tersebut juga terhadap para warga yang divonis akibat ekspresi politiknya berlangsung dalam lanskap sosial-politik yang dinamis, dengan ketegangan dan kalkulasi kekuasaan yang kompleks. Oleh sebab itu, ketika Presiden menggunakan hak prerogatifnya, langkah ini dapat dibaca sebagai ikhtiar untuk menata ulang relasi politik nasional, bukan sebagai penghapusan tanggung jawab perorangan.
Pilihan Politik Kebangsaan
Dalam praktik politik kenegaraan, tidak ada keputusan yang bisa menyenangkan semua pihak. Namun, kepemimpinan negara dituntut untuk memilih opsi dengan risiko paling kecil bagi keutuhan bangsa. Politik bukan sekadar soal benar atau salah dalam logika hukum, melainkan juga soal membaca arah sejarah dan menjaga keberlanjutan kehidupan bernegara.
Pemberian amnesti dan abolisi ini, jika ditempatkan dalam kerangka tersebut, dapat dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari siklus konflik yang berkepanjangan, bukan sekadar membebaskan individu dari tuntutan hukum. Yang lebih dibutuhkan saat ini bukan vonis, bukan balas dendam, melainkan pemulihan kepercayaan kolektif bahwa perbedaan politik tidak harus bermuara pada kriminalisasi, dan bahwa negara memiliki mekanisme penyelesaian konflik secara damai dan beradab.
Pemimpin Tanpa Dendam
Keputusan ini juga menandai lahirnya fase kedewasaan baru dalam demokrasi kita. Presiden Prabowo, oleh sebagian kalangan, mulai dipandang sebagai figur pemimpin yang memilih merangkul daripada membalas, seorang pemersatu yang tidak menyimpan dendam terhadap lawan-lawan politik masa lalu. Tak berlebihan jika ada yang menyebutnya sebagai “Nelson Mandela-nya Indonesia”, dalam konteks lokal dan historis kita sendiri.
Bahkan, dalam momentum peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Indonesia, keputusan ini disebut-sebut sebagai kado simbolik Presiden bagi rakyat. bahwa seluruh warga negara kini telah merdeka, termasuk mereka yang sempat terjerat oleh dinamika politik yang keras dan penuh resistensi.
Tantangan Global dan Urgensi Stabilitas
Kebijakan ini pun tidak lepas dari konteks geopolitik global yang penuh ketidakpastian. Kawasan Asia Tenggara, yang selama ini dikenal relatif stabil, mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Ketegangan antara Kamboja dan Thailand misalnya, menjadi alarm bahwa bahkan ASEAN tidak lagi aman dari potensi konflik fisik antarnegara.
Dalam kondisi demikian, stabilitas politik domestik menjadi prasyarat utama untuk menjaga daya tahan nasional. Konsolidasi politik dan rekonsiliasi kebangsaan adalah benteng penting dalam menghadapi ketegangan global. Maka, keputusan Presiden juga dapat dibaca sebagai strategi memperkuat daya tahan internal dalam menghadapi krisis eksternal.
Menjaga Masa Depan Bersama
Prinsip yang tampak menjadi dasar dari kebijakan ini adalah kaidah ushul fiqh: “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat, ketika keduanya tidak bisa dicapai secara bersamaan. Ini adalah cermin kebijakan yang tidak hanya berdiri di atas fondasi hukum, tetapi juga etika dan kebijaksanaan bernegara.
Kini, tantangan terbesar bukan lagi pada keputusan itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita, sebagai masyarakat sipil, media, dan institusi negara, mampu mengelola narasi kebijakan ini agar tidak terjebak dalam bentuk polarisasi baru. Diperlukan ruang-ruang diskusi yang sehat dan bernash untuk melihat langkah ini sebagai bagian dari manajemen krisis demokrasi yang kompleks dan menuntut pertimbangan jangka panjang.
Negara tidak sedang membenarkan masa lalu. Negara sedang membuka pintu-pintu baru bagi masa depan yang lebih sehat secara politik, adil secara hukum, dan bersatu secara sosial.
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indeks Data Nasional (IDN)