Menurut laporan Kabar Cirebon, wabah ini mulai terdeteksi sejak Mei 2025, dengan puluhan warga di Desa Maja dan Ligung melapor ke puskesmas setempat. Gejala awal seperti demam tinggi 39–40°C selama 2–5 hari, diikuti nyeri sendi yang sangat kuat hingga penderita kesulitan berjalan, menjadi ciri khas. “Sakitnya luar biasa, seperti tulang diremukkan. Ada yang sampai tidak bisa berdiri berhari-hari,” cerita salah satu warga, seperti dikutip dari https://poltekkesmajalengka.id. Penularan terjadi melalui gigitan nyamuk yang sebelumnya menggigit penderita, dengan masa inkubasi 4–7 hari. Meskipun tidak ada kematian, dampak jangka panjang seperti nyeri sendi kronis hingga berbulan-bulan membuat warga khawatir.
Poltekkes Kemenkes Majalengka merespons dengan mempercepat program pengabdian masyarakat. Sebagai politeknik vokasi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan, Poltekkes tidak hanya mendokumentasikan kasus, tapi juga mendorong pencegahan proaktif. Dr. Siti Nurhaliza menyoroti urgensi surveilans. “Wabah chikungunya ini alarm bagi kami. Di Maja dan Ligung, genangan air di kebun dan pekarangan jadi sarang nyamuk. Mahasiswa kami dari Jurusan Kesehatan Lingkungan turun lapangan melalui Praktik Kerja Lapangan (PKL) untuk edukasi 3M Plus dan demo cuci tangan pakai sabun di 20 desa prioritas,” jelas Dr. Siti. Poltekkes juga sediakan layanan skrining cepat chikungunya di kampus, mendeteksi 50 kasus positif sejak Juli 2025 untuk rujukan ke puskesmas.
Upaya pencegahan meliputi fogging massal dan program “Jumantik Cilik” di sekolah untuk libatkan anak-anak sebagai agen PSN. Dampak awal: kasus chikungunya turun 15 persen di desa sasaran sejak November 2025, berkat partisipasi masyarakat. Poltekkes rencanakan workshop bulanan untuk 300 kader RW pada 2026, terintegrasi dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).
Dengan sorotan Poltekkes Majalengka, chikungunya bukan lagi musuh tak terlihat, tapi tantangan yang bisa diatasi bersama. Edukasi, surveilans, dan kolaborasi adalah senjata utama—untuk Majalengka sehat dan lestari.
