Tolak Pungutan Tapera, Jutaan Buruh Ancam Turun ke Jalan!

Tolak Pungutan Tapera, Jutaan Buruh Ancam Turun ke Jalan!

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Tolak Pungutan Tapera, Jutaan Buruh Ancam Turun ke Jalan!

GELORA.CO -
Buruh atau pekerja swasta serentak menolak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Apalagi PP itu mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat sebesar 2,5% dari upah dan 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja.

Iuran Tapera efektif berlaku paling lambat tujuh tahun setelah penetapannya atau pada tahun 2027.

“Buruh tidak akan diam atas terbitnya Tapera. Buruh akan lakukan perlawanan,” ujar Alson Naibaho, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) DPC DKI Jakarta kepada Harian Terbit, Selasa (28/5/2024).

Alson menegaskan, buruh menolak keras kebijakan Tapera. Apalagi selama ini tidak ada sosialisasi bakal terbitnya PP No. 21 tahun 2024 tersebut. Namun tiba-tiba uang buruh hendak dipotong hanya demi ambisi mengumpulkan uang dari buruh. Padahal gaji yang didapat buruh selama ini adalah hak mutlak buruh.

“Jadi kalau mau potong gaji buruh harus melalui persetujuan dari buruh itu sendiri,” paparnya.

Alson menegaskan, diterbitkan PP Nomor 21 tahun 2024 menunjukkan jelas-jelas pemerintah tidak memikirkan nasib buruh. Karena selama ini gaji buruh telah dipotong untuk BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan dan PPh 21. Sehingga saat ironis gaji buruh dipotong lagi untuk Tapera dengan iuran 2,5 persen.

“Kalau banyak potongan maka bisa habis gaji buruh. Jadi percuma UMP 3,6 persen gak ada artinya ketika dipotong 2,5 persen. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sewenang-wenang,” paparnya.

Buruh Terpuruk


Penolakan adanya iuran Tapera juga disampaikan oleh Presiden Asosiasi Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat. Menurutnya, saat ini buruh sedang terpuruk dan sengsara atas ekonominya. Tapi pemerintah justru membuat regulasi yang tidak populis dan memperburuk kondisi buruh.

“Karena saat ini dampak UU Omnibus Law membuat upah buruh sangat murah. Belum lagi ada Covid -19, PHK massal, lapangan pekerjaan minim. Kemudian buruh bisa menghadapi harga pangan yang sangat tinggi. Ini kan sangat luar biasa yang dihadapi buruh,” ujar Mirah kepada Harian Terbit, Selasa (28/5/2024).

Menurutnya, adanya PP Tapera tidak melibatkan pekerja buruh sehingga adanya PP itu diduga hanya untuk kepentingan kekuasaan. Apalagi adanya PP Tapera bakal ada struktur kepegawaian untuk mengelolanya.

Mirah menilai saat ini pemerintah tidak pernah berkaca atau intropeksi bahwa ada banyak jumlah uang BPJS Ketenagakerjaan yang tidak bertuan yang tidak diklaim oleh buruh yang meninggal atau di PHK.

Mirah pun meminta, dari pada pemerintah sibuk mengeluarkan PP Nomor 21 tahun 2024, yang justru membuat nasib buruh semakin terpuruk, maka harusnya pemerintah memberikan subsidi yang lebih besar lagi kepada buruh agar bisa memiliki rumah, bukan malah memotong gaji buruh untuk program Tapera.

“Jadi saya minta PP itu dibatalkan karena akan membuat buruh kecewa dan marah. Karena yang ditanggung buruh itu banyak, seperti pajak, ditembak lagi dengan adanya Tapera. Jadi saat ini buruh tidak mempunyai tabungan lagi,” tegasnya.]

Memaksa


Ketua Umum DPP KSPSI, Jumhur Hidayat mengatakan, PP No. 21 tahun 2024 tentang Tapera merupakan peraturan yang memaksa buruh dan pengusaha. Apalagi uang buruh dan pengusaha akan mengendap hingga usia 58 tahun. Ia pun menilai saat ini pemerintah senangnya hanya mengumpulkan uang rakyat, dan digoreng dalam berbagai instrumen investasi.

“Kita masih ingat kan kasus Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi belasan bahkan puluhan trilyun itu? Belum lagi dana BPJS Ketenagakerjaan yang sempat rugi walau disebut Unrealized Loss”, ujar Jumhur kepada wartawan, Selasa (28/5/2024).

Jumhur memaparkan, buruh itu sudah banyak sekali dapat potongan dalam gajinya, masa mau dipotong lagi. Kejam amat sih Pemerintah ini”, tegasnya.

Menurutnya kalau memang Pemerintah punya niat baik agar rakyat memiliki rumah maka banyak cara bisa dilakukan. Misalnya pengadaan tanah yang murah, subsidi bunga dan skema tanpa uang muka. Bisa juga mencarikan teknologi material yang bagus dan murah untuk perumahan.

Tak Ada Urgensinya


Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti (Usakti) Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan Tapera sangat membebani buruh, hingga pemberi kerja karena harus menanggung 3% dari dananya untuk program tersebut. Dia mencontohkan, bila Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta sebesar Rp 5 juta artinya karyawan dan pemberi kerja harus membayar Rp 150 per bulan. Perinciannya, Rp 25 ribu oleh perusahaan dan Rp125 ribu ditanggung karyawan.

“Persoalannya apakah perusahaan mau? Berat itu, kalau perusahaan karyawannya sampai 1.000? Pelaku perusahaan akan menjerit itu. Apalagi di tengah karyawan yang dihadapkan iuran wajib BPJS,” ujarnya.

Trubus mengungkapkan, karyawan juga tetap harus membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan yang juga memiliki pilihan untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Sementara itu, mereka juga akan dibebankan dengan aturan Tapera ini. “Ini jadi berat buat dia, artinya ada tumpang tindih kebijakan yang memberatkan para pekerja,” ungkapnya.

Dia tak memungkiri, kebijakan ini ada niat baik dari pemerintah untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Namun, kata dia, aturan ini dikeluarkan tanpa ada sosialisasi ke publik yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait implementasinya.

“PP 21 ini belum ada urgensinya, tapi niatnya baik, ini keluar tanpa ada sosialisasi dulu tanpa ada komunikasi publik dulu, karena ujung-ujungnya masyarakat harus membayar. Artinya upah yang akan diterima akan semakin kecil, kita berharap pemerintah ke depan harus ikut memikirkan,” terangnya.

Gaji Dipotong


Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bakal pro kontra terkait kebijakan Tapera. Menurutnya masyarakat memang pasti akan berhitung seberapa besar gaji yang bakal dipotong. Keberatan pasti akan muncul.“Iya semua dihitung lah. Biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," ungkap Jokowi ditemui di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).

Jokowi pun menyamakan kewajiban iuran Tapera lewat potongan gaji ini dengan iuran BPJS Kesehatan. Awalnya bagi masyarakat di luar penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan keberatan harus membayar iuran dari gajinya tiap bulan.

Namun seiring berjalannya program ini, masyarakat yang awalnya keberatan membayar iuran merasakan sendiri fasilitas kesehatan yang gratis.

"Seperti dulu BPJS, diluar yang PBI yang gratis 96 juta kan juga ramai tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," ungkapnya.

Sumber: harianterbit
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita