OLEH: DENNY JA
APAKAH kemiskinan di Jawa Tengah bisa menurunkan dukungan kepada Ganjar Pranowo sehingga gagal terpilih sebagai presiden Indonesia 2024-2029?
Apakah ada efek elektoral bagi pernyataan “Jika sebagai gubernur Jawa Tengah saja Ganjar gagal mengatasi kemiskinan di Jawa Tengah, bagaimana bisa kita percaya Ganjar mampu mensejahterahkan Indonesia jika ia terpilih sebagai Presiden RI?”
Belakangan ini pertanyaan itu sering diajukan kepada saya. Mungkin karena saya dianggap memiliki otoritas menjawabnya karena dua hal.
Pertama, secara keilmuan, saya mengarang buku yang kini menjadi salah satu buku teks kelas Mini MBA marketing politik. Saya dianggap sudah cukup teori dan studi perbandingan untuk menjawab pertanyaan itu.
Kedua, berdasarkan pengalaman, saya sudah ikut memenangkan empat kali pemilu presiden Indonesia berturut-turut. Saya dianggap sudah banyak pula menyelami realitas lapangan untuk menjawab pertanyaan itu.
Jawab saya singkat saja: Ya dan Tidak. Itu tergantung apakah syaratnya terpenuhi.
Ya, masalah kemiskinan di Jawa Tengah dapat menurunkan dukungan kepada Ganjar, menggagalkannya mendapat cukup dukungan selama terpenuhi syarat tiga.
Tidak, isu kemiskinan di Jawa Tengah akan mengempis jika tiga syarat itu tidak terpenuhi. Jika tiga syarat itu tidak hadir sekaligus, isu kemiskinan Jawa Tengah akan diabaikan mayoritas pemilih.
Apakah tiga syarat itu?
Syarat pertama: data itu harus data valid, yang dikeluarkan lembaga yang kredibel dan acapkali menjadi rujukan.
Hanya data kredibel yang bisa kuat dan bertahan lama dalam memori pemilih. Datanya harus sederhana untuk bisa dimengerti oleh orang awam sekalipun. Data itu harus pula komprehensif. Semakin data itu komprehensif, semakin ia meyakinkan.
Jika datanya tidak valid, tak cukup komprehensif, data itu powerless, dan isu itu akan mati sendiri.
Syarat kedua: tidak cukup hanya datanya valid. Data ini pun harus diketahui seluas mungkin, disadari oleh mayoritas pemilih.
Jika yang tahu data valid itu hanya segelintir intelektual dan kaum terpelajar saja, efek data valid itu juga terbatas. Ia tak akan mengubah tren dukungan secara signifikan ke Ganjar.
Syarat ketiga: tak cukup hanya datanya valid dan diketahui mayoritas pemilih, Ganjar dan pihaknya gagal memberi penjelasan yang bisa diterima. Yaitu Ganjar gagal memarketingkan counter-nya secara sama luasnya dengan beredarnya isu itu.
Jika Ganjar dan tim bisa membatasi, memberi penjelasan yang meyakinkan, isu kemiskinan Jawa Tengah akan mengempis. Efek elektoralnya tak akan mengubah trend dukungan ke Ganjar.
Saya mencoba melacak di Google, juga di media sosial. Sumber berita apa yang bisa dijadikan rujukan soal kemiskinan di Jawa Tengah.
Cukup banyak berita pro kontra soal ini. Bahkan isu kemiskinan sudah pula dijadikan bahan orasi singkat di Tik Tok, diantara isu yang dianggap kelemahan Ganjar.
Salah satunya berita di Kontan, 27 Januari 2023. Judul berita itu cukup mencolok: Daftar Provinsi Terkaya dan Termiskin 2022, Yogyakarta dan Jateng termasuk. (1)
Dengan prosentase kemiskinan 10. 98 persen, Jawa Tengah menjadi provinsi kedua termiskin di Jawa. Memang ada Yogkarta yang secara prosentase lebih miskin dibandingkan Jawa Tengah. Tapi secara prosentase, Jawa Tengah memang lebih miskin dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa: Jawa Barat, DKI, Banten dan Jawa Timur di tahun itu, 2022.
Pada berita lain, ada pula data yang menunjukkan. Prosentase kemiskinan di Jawa Tengah melampaui prosentase kemiskinan nasional.
Secara nasional, prosentase kemiskinan di Indonesia tahun 2022, di bulan September sebesar 9,57 persen. Bisa dikatakan ini rata- rata prosentase kemiskinan se-Indonesia.
Tapi prosentase kemiskinan di Jawa Tengah lebih tinggi lagi: 10,98 persen.
Data mengenai prosentase kemiskinan di provinsi dan nasional berbeda- beda sepanjang tahun, karena setiap kuartal ada data terbaru. Ada data bulan Maret. Ada data bulan September. Tapi peringkat provinsi sepanjang tahun tak banyak berubah.
Kemiskinan adalah kategori multi dimensi. Namun satu indikator saja seperti prosentase kemiskinan di atas sudah bisa membentuk persepsi publik.
Dalam beberapa kasus, pilihan politik bisa dipengaruhi oleh persepsi, walau parsial, ketimbang oleh kumpulan data yang lebih multi variabel.
Politics is perception. Satu elemen dari kemiskinan, yaitu prosentase kemiskinan, memang sudah bisa mengubah persepsi pemilih kepada kapabilitas kandidat.
Masalahnya, isu ekonomi adalah panglima. Isu itu selalu dianggap pemilih Indonesia sebagai isu sangatlah penting. Apalagi setelah pandemik Covid-19 yang sudah tiga tahun memporak- porandakan kita. Kemajuan ekonomi, keluar dari kemiskinan menjadi dambaan.
Rekor dan program capres soal memajukan ekonomi sangat, sangat, sangatlah menentukan. Ia selalu menjadi bahan untuk dikampanyekan untuk meng- upgrade atau men- downgrade calon presiden.
Data kemiskinan di Jawa Tengah di atas memang menjadi pekerjaan rumah bagi Ganjar dan timnya untuk menjelaskan ke publik.
Soal isu ekonomi dalam pemilu presiden, saya teringat pemilu di Amerika Serikat tahun 1992, antara George Bush versus Bill Clinton.
Saat itu George Bush adalah incumbent, pertahana yang ingin terpilih kedua kalinya. Bush pun populer karena ia berhasil mengusir Irak yang menginvansi kuwait melalui Operation Desert Shield 1991.
Nama Bush berkibar secara nasional. Tapi tim Bill Clinton, khususnya konsultan politik James Carville melihat kelemahan pemerintahan Bush. Ekonomi Amerika Serikat sedang turun.
Maka lahirlah slogan kampanye yang terkenal: “It is economy, Stupid!.” Ini soal ekonomi, bodoh! Pilpres Amerika Serikat sekarang ini soal ekonomi yang merosot. Bukan soal invasi Irak dan Kuwait. Bukan soal soal lain.
Lihatlah kinerja Bush soal ekonomi. Ia gagal. Lihat datanya. Lihak rekam jejaknya. Lihat track recordnya.
Jika Bush gagal soal ekonomi ketika ia menjadi presiden periode pertama, apa pula jaminannya ia bakal berhasil jika menjadi presiden lagi di periode kedua.
Isu ekonomi semakin mendominasi persepsi pemilih Amerika Serikat saat itu. Hasil dukungan pun berbalik. George Bush yang awalnya unggul menjadi kalah.
Bisa diduga lawan- lawan Ganjar akan pula menjadikan ekonomi sebagai isu utama pemilihan presiden. Isu ekonomi bahkan mengalahkan isu soal agama, korupsi dan hak asasi manusia.
Mereka akan katakan: lihat rekam jejak Ganjar ketika menjadi gubernur Jawa Tengah selama dua periode. Periksa data BPS. Bukankah prosentase kemiskinan di Jateng nomor 2 terburuk di Jawa (2022)?
Bukankah prosentase kemiskinan di Jateng lebih tinggi dibandingkan prosentase kemiskinan di Indonesia (2022)?
Patut diduga ke depan, aneka bentuk informasi soal Ganjar dan kemiskinan di Jawa Tengah segera memenuhi media sosial. Ini era setiap individu bisa mem-posting dan mem-forward apapun yang mereka anggap penting.
Model info seperti ini akan meluas: “Jika di satu provinsi Jawa Tengah saja Ganjar gagal soal kemiskinan, bagaimana Ganjar bisa mensejahterakan ekonomi Indonesia yang berjumlah 38 provinsi? Jika satu provinsi gagal, bagaimana bisa berhasil di 38 provinsi?”
Ganjar kini bersaing dengan Prabowo dan Anies Baswedan. Dari sejumlah lembaga survei, kadang Ganjar dipilih paling banyak, kadang Prabowo yang paling banyak.
Dua- dua survei itu, Ganjar atau Prabowo memimpin sementara, dua duanya bisa benar. Itu karena sebagian besar pemilih masih mudah mengubah pilihannya. Dalam bahasa teknis survei, itu disebut soft supporters.
Justru karena masih banyaknya pemilih yang bisa ragu, lalu mengubah pilihannya, isu Ganjar yang gagal mengatasi kemiskinan di Jawa Tengah agar prosentasenya tidak lebih tinggi dibanding rata- rata nasional, itu juga menjadi isu yang potensial mengubah dukungan.
“It is economy, stupid!” yang terjadi dalam pemilu 1992 di Amerika Serikat bisa jadi dimodifikasi untuk pilpres di Indonesia tahun 2024, dan menghantam Ganjar.
Tapi akankah dukungan atas Ganjar menurun? Akibatnya Ganjar gagal terpilih presiden?
Tentu saja Ganjar Pranowo dan tim PDIP akan pula mengerahkan penjelasan meng-counter itu itu.
Hasil akhirnya tergantung siapa yang bisa lebih meyakinkan publik.
Tapi untuk kepentingan demokrasi di Indonesia, perdebatan mengenai track record calon presiden, yang disertai data dan fakta, itu adalah perdebatan yang sehat dan mencerdaskan.