Kasak-kusuk Politik: Rakyat Tidak Dilirik

Kasak-kusuk Politik: Rakyat Tidak Dilirik

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



OLEH: DIAN FITRIANI*
MENJELANG pemilu, intensitas aktivitas partai politik meningkat. Hal ini tentu saja merupakan upaya untuk menggelorakan gagasan demi meraup suara.

Alih-alih sibuk mengatasi persoalan rakyat yang tak kunjung selesai, justru para politisi sibuk berlomba mengatur strategi kemenangan kontestasi politik pada Pemilu 2024 nanti.





Pada Selasa (2/5) malam, Presiden RI, Joko Widodo mengumpulkan enam ketua umum parpol di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Enam ketua umum parpol tersebut adalah, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri; Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto; Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar; Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan; Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto; dan Plt Ketua Umum PPP, M Mardiono.

Hal ini jelas menarik perhatian publik, pasalnya Nasdem yang merupakan salah satu dari koalisi pemerintah tidak diundang malam itu. Diduga dikarenakan Nasdem punya calon presiden sendiri jelang pemilu nanti yang berbeda dengan koalisi pemerintah.

Pasca undangan makan di Istana tersebut, pakar politik hingga akademisi menilai apa yang dilakukan Jokowi merupakan cawe-cawe pilpres. Selain itu, Jokowi dinilai melanggar etika politik dengan berlaku di luar kewenangan sebagai presiden. Pasalnya Jokowi terlalu ikut campur urusan pilpres dan terlihat keberpihakan terhadap salah satu capres.

Lagi-lagi Jokowi inkonsisten dalam sikapnya, dia mengatakan tidak akan cawe-cawe, akan tetapi jelang Pemilu 2024 seolah lebih sibuk mengurus partai ketimbang rakyatnya yang terkatung-katung menonton kontestasi politik yang semakin memanas kian hari.
 
Namun dalam iklim demokrasi, sudah wajar politisi hingga pejabat lebih mementingkan kepentingan partai ketimbang rakyatnya. Terjebak dalam lingkaran setan menjadikan pemilu hanya sekadar kompetisi 5 tahun sekali yang mana setiap partai bertarung demi meraih kekuasaan. Lupa soal amanah besar mengurus rakyat yang tak kunjung sejahtera.
 
Lupa janjinya akan menekan angka kemiskinan menjadi 0 persen pada tahun 2024 mendatang. Ironisnya justru angka kemiskinan kian bertambah.

Pada semester ganjil 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa angka kemiskinan meningkat. Persentase penduduk miskin pada September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen (26,36 juta orang). Angka tersebut meningkat sebesar 0,03 persen poin atau sekitar 0,20 juta orang dibandingkan kondisi Maret 2022.

Bahkan 5,98 juta penduduk di antaranya dalam kondisi kemiskinan ekstrem. Jumlah kemiskinan akan terus meningkat di tahun 2023 diakibatkan naiknya harga sembako dan BBM yang berdampak pada perekonomian domestik.

Selain kemiskinan, angka stunting di Indonesia juga dinilai cukup tinggi. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022. Angka tersebut membuktikan bahwa rendahnya mutu gizi anak di Indonesia yang akan berdampak pada tumbuh kembang anak.

Selain itu, utang pemerintah juga kian bertambah pada akhir Maret 2023 naik Rp 17,39 triliun dari posisi akhir Februari 2023 sebesar Rp 7.861,68 triliun dengan rasio 39,09% terhadap PDB.

Begitu pula jika dibandingkan akhir Maret 2022, nilainya naik Rp 826,57 triliun dari Rp 7.052,5 triliun dengan rasio 40,39% terhadap PDB.
 
Mirisnya, kondisi rakyat tak kunjung membaik di tengah kisruhnya politik. Para politisi justru berlomba-lomba memasang spanduk hingga pencitraan lainnya demi menarik empati rakyat, akan tetapi penjabat dan politisinya justru jauh dari kata empati terhadap rakyat.

Pejabat sibuk pamer harta, sementara 8,42 juta rakyat Indonesia pengangguran tak tahu harus dengan apa menghidupi dirinya dan keluarganya.
 
Namun begitulah nasib rakyat dalam lingkaran setan demokrasi. Tak kunjung selesai dengan 5 tahun masa jabatan presiden berganti, kemiskinan masih saja menjadi masalah nomor satu negara ini. Tak peduli berapa tahun lalu merdeka, investor asing lebih menarik perhatian ketimbang rakyatnya yang mengemis pekerjaan.

Terlebih para pemangku kebijakan adalah mereka yang disuapi kapitalis dengan sogokan uang dan jabatan, tak lupa titipan undang-undang yang melegalkan kezaliman dan melanggengkan tirani kekuasaan.
 
Sulitnya menjadi rakyat dalam sistem demokrasi. Menjelang perhelatan politik 5 tahun sekali, rakyat terombang-ambing oleh janji manis para calon dan partai. Jauh dari statusnya sebagai pelayan rakyat. Padahal mereka sebetulnya pengemis yang mengemis suara rakyat dengan penuh harap akan terpilih kala pemilu nanti.
 
Sayang seribu sayang, saat ini kita tak bisa lepas dari jeratan sistem yang melingkari siklus nasib rakyat kecuali sistem itu sendiri hancur lebur atas izin sang maha kuasa.
 
Teringat kisah tentang takutnya Khalifah Umar Bin Khattab akan dirinya yang penuh dengan cela dan kekurangan kala menjadi khalifah pada masa kekhalifahan Ar Rasyidin.
 
Di tengah kesibukan Khalifah Umar bin Khattab, seorang rakyatnya mengadu tentang kezaliman terhadapnya. Seraya berkata “Si fulan telah mendzalimiku. Engkau hendaknya menegakkan hukum atas dia sebagai balasan.”

Akan tetapi Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu justru mencambuknya sekali seraya berkata, “Ketika kusediakan waktuku untuk menerima pengaduan, kamu tidak datang. Kini aku sedang sibuk dengan urusan lain, kamu datang mengadu.”

Orang itu pun pergi. Lalu, Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu menyuruh seseorang untuk memanggil kembali orang tersebut. Setelah ia datang, Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu memberikan cambuk kepadanya dan berkata, “Balaslah aku!” Orang itu menjawab, “Aku telah memaafkanmu karena Allah Subhanahu wata’ala.”
 
Selepas itu Amirul Mukminin, Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu segera pulang ke rumahnya dan mengerjakan shalat dua rakaat.

Lalu, ia berbicara kepada dirinya sendiri, “Hai Umar, dahulu kamu rendah, sekarang Allah Subhanahu wa ta'ala meninggikan derajatmu. Dahulu kamu sesat, kemudian Allah Subhanahu wata’ala memberimu hidayah. Dahulu kamu hina, lalu Allah Subhanahu wata’ala memuliakanmu, dan Dia telah menjadikanmu sebagai raja bagi manusia. Kini, telah datang seorang laki dan berkata, 'Aku telah dizalimi, tegakkanlah hukum atas orang yang mendzalimiku tetapi kamu justru mencambuknya'. Kelak pada hari kiamat, apa jawabanmu di hadapan Rabbmu?" lama sekali Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu mencela dirinya sendiri.
 
Inilah perasaan takut seorang pemimpin yang lahir akibat tegaknya hukum Allah. Pemimpin yang takut dengan Tuhannya merasa tidak berdaya dan khawatir dirinya dipertanggungjawabkan atas apa yang telah ia perbuat terhadap rakyatnya.

Maka lantas, apakah hari ini kita dapat temukan pemimpin yang melayani rakyat dan sangat khawatir dirinya menzalimi rakyatnya bila kita berada dalam sistem tirani demokrasi?

Sampai kapan kita menjadi korban dari pusaran kerakusan kekuasaan dan kezaliman kapitalis dalam bingkai sistem neo-imperialisme ini?
 
Wallahu a’lam bi sowab. 

*(Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA