'Saya berutang agar dapat keajaiban' - Cerita Warga Kenya yang Terjerat Utang untuk Membayar Doa Pendeta

'Saya berutang agar dapat keajaiban' - Cerita Warga Kenya yang Terjerat Utang untuk Membayar Doa Pendeta

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Air mata Evarline Okello tumpah saat bercerita kepada kami bahwa utangnya sudah menumpuk. Utang itu untuk membayar seorang pendeta karena telah mendoakannya.

Dia tinggal di sebuah gubuk kecil di Kiberia, daerah kumuh yang luas di Ibu Kota Kenya, Nairobi. Ia sudah tak bisa memenuhi kebutuhan hidup keempat anaknya.

Evarline memulai cerita melalui sambungan telepon dengan kondisinya yang tak punya pemasukan selama berbulan-bulan.

Di tengah kondisi tersebut, dia mendengar tentang seorang pendeta yang doanya bisa memberi kehidupan yang lebih baik. Pendeta itu meminta uang sebesar Rp1,7 juta (US$115).

Istilah ini disebut "persembahan benih", yakni sumbangan kepada tokoh agama, agar bisa memberi doa khusus seperti yang diinginkan.

Evarline kemudian meminjam uang dari seorang teman. Dia diberitahu bahwa doa dari pendeta ini begitu kuat, dan dia menyanggupi untuk membayar utangnya kurang dari satu pekan.

Keajaiban yang ditunggu tak kunjung tiba, ia mengatakan bahkan segalanya semakin buruk.

Utang dari temannya itu membengkak karena bunga yang belum dibayar. Sekarang utangnya sudah mencapai Rp4,6 juta ($300), dan ia tak tahu bagaimana cara melunasinya. Temannya sudah tak mau bicara padanya, dan ia masih belum punya pekerjaan.

"Segalanya menjadi sulit, saya telah kehilangan semua harapan," katanya.

'Solusi gaib'

Kenya mendapat pukulan keras karena dilanda lonjakan biaya hidup. Harga makanan naik 16% dalam 12 bulan, sebelum September 2022. Hal ini berdasarkan Badan Pusat Statistik setempat.

Sementara itu, laporan dari Bank Dunia menunjukkan jumlah warga Kenya yang kehilangan pekerjaan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam tujuh tahun terakhir.

"Masyarakat hidup dengan putus asa," kata Gladys Nyachieo, sosiolog dari Universitas Multimedia Kenya.

Situasi ini telah memicu hasrat sebagian masyarakat untuk mencari solusi supranatural, katanya. Akibatnya, banyak sekarang yang rela membayar demi memperoleh keajaiban, bahkan jika mereka harus pinjam uang.

"Orang-orang didoktrin bahwa Tuhan tidak ingin mereka terus-terusan hidup susah. Jadi, mereka harus memberi persembahan benih," katanya. Benih yang dimaksud adalah uang.

Praktik membayar untuk memperoleh berkat dan doa pendeta berasal dari apa yang dikenal sebagai "Teologi Kemakmuran", yang mengajarkan bahwa Tuhan memberi imbalan iman dengan kesejahteraan dan kesehatan.

Para pengikutnya didorong untuk menunjukkan iman mereka dengan memberikan uang, yang diklaim akan dibalas Tuhan dengan berlipat ganda.

Kepercayaan ini berakar di Amerika yang memperoleh momentumnya di awal abad ke-20.

Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, para pendeta Nigeria pergi ke AS untuk belajar lebih banyak mengenai hal ini.

Pada awal 2000-an, popularitasnya kemudian menyebar ke seluruh Afrika, sebagian didorong oleh tokoh gereja evangelis Amerika seperti Reinhard Bonnke. Ia menarik banyak orang, dari Lagos ke Nairobi. Pertumbuhan popularitasnya berlanjut hingga kini.

Nyachieo juga menunjukkan faktor lain yang membuat masyarakat tergoda berutang - tawaran utang kerap muncul di telepon genggam warga Kenya. Ini semacam pinjaman online [pinjol]. "Masyarakat hanya mendaftar, kemudian memperoleh uang," katanya.

Hal itu yang terjadi pada Dennis Opili, 26 tahun. Setelah merasa putus asa karena gagal mendapat kerja selama tiga tahun, ia meminta seorang teman untuk membantunya.

"Dia menyarankan pada saya, bahwa ada sebuah gereja di mana kamu bisa minta doa dari mereka. Kamu bisa memberi persembahan, kemudian mereka akan mendoakanmu, kemudian kamu dapat pekerjaan," kata Dennis.

Dia berkata telah memberi sumbangan setiap hari Minggu selama tiga bulan, dengan total sekitar Rp2,7 juta (US$180).

Saat ia kehabisan tabungan, ia meminjam sekitar Rp1,8 juta ($120) dari pinjol dan teman-temannya.

"Saya yakin dengan apa yang dikatakan oleh pendeta, bahwa saya akan memperoleh pekerjaan. Jadi, saya tidak keberatan untuk mencari pinjaman, karena saya pikir nantinya saya bisa melunasinya."

Tapi ketika tak ada lowongan kerja yang kecantol, Dennis mulai mencurigai bahwa ia telah ditipu.

Ia segera diburu perusahaan pinjol untuk pelunasan utang. "Kadang saya hanya duduk di suatu tempat, santai, memikirkan hal-hal lain. Kemudian seseorang menelpon, mereka menagih utang, dan saya tak punya apa-apa untuk membayarnya," katanya.

"Saya takut karena kamu tidak tahu tindakan apa yang bisa mereka ambil kalau kamu tidak bisa bayar utang. Kamu tidak tahu apakah mereka akan melakukan penuntutan, atau apakah mereka akan menyeret Anda ke dalam tahanan polisi."

Untungnya Dennis sekarang mendapatkan pekerjaan kecil-kecilan, yang memungkinkannya membayar utang ke perusahaan pinjol dan teman-temannya.

"Saya masih sangat percaya dengan Tuhan," katanya. "Yang harus saya lakukan adalah sedikit lebih berhati-hati."

Dipaksa untuk menyumbang

Persoalan ini bukan hanya terjadi di Kenya, tempat orang mencari utang demi memperoleh keajaiban.

Seorang perempuan yang biasa menghadiri sebuah gereja Nigeria di Amerika Serikat, berkata ia dan suaminya diwajibkan memberi sumbangan yang mencekik - termasuk persembahan menabur benih.

Perempuan itu meminta namanya disamarkan, sebut saja dia "Sarah".

Sarah yang tinggal di bagian selatan AS khawatir jika namanya dimunculkan akan mendapat intimidasi dari gereja atau pengacara gereja.

Sarah mengatakan baik jemaat maupun pendeta lokal di gereja tersebut diharapkan untuk memberikan "zakat" 10% dari pendapatan bulanan mereka untuk biaya gereja dan pimpinannya di Nigeria.

Dan itu adalah tambahan dari apa yang disebut "buah pertama" - seluruh paket gaji mereka di bulan pertama tahun itu.

Pemimpin gereja setempat menetapkan target bulanan, kata dia, yang memaksa jemaat untuk menabur benih. Jemaat kemudian diberitahu bahwa mereka akan memperoleh berkat dari kepala pendeta di Nigeria.

Sarah mengatakan, ia melihat orang-orang memberi persembahan benih dengan kartu kredit di kebaktian gereja.

"Saya ingat suatu hari di gereja itu, seorang wanita berkata 'Saya sudah membayar persembahan benih, dan sepertinya saya tidak punya cukup uang di akhir bulan."

Pendeta justru menanggapi bahwa lebih penting memberi persembahan dari pada membayar sewa, kata Sarah.

Dan ia mengatakan siapapun yang bertanya kenapa keajaiban tidak kunjung terjadi, ini karena: "Anda tidak cukup berdoa, Anda kurang menanam benihnya. Anda tidak cukup beriman."

Dia mengatakan suaminya ditekan untuk menceraikannya, karena terus bertanya-tanya - tapi mereka berdua akhirnya meninggalkan gereja tersebut.

Harapan terakhir

Jadi kenapa jemaat lainnya masih bertahan di gereja-gereja itu?

Jörg Haustein, profesor rekanan World Christianities di Universitas Cambridge mengatakan hal ini bisa dipahami kenapa orang tetap bersedekah ketika "hal yang dijanjikan tidak terjadi seperti yang digembar-gemborkan".

"Bagi kelas menengah dan menengah ke atas, seperti kebanyakan orang seperti di gereja Sarah, Haustein mengatakan "Teologi Kemakmuran" menawarkan "kesuksesan ekonomi dan mobilitas sosial ke atas yang menurut orang menarik."

Tapi ini bisa juga menarik bagi orang miskin, katanya.

"Sebuah gereja yang mengatakan: 'Kami tahu kalian menderita, dan kami memiliki solusi praktis untuk Anda'. Itu akan lebih menarik dibandingkan gereja yang berkhotbah mengenai perubahan sistematis yang sulit dipahami."

Tapi kenapa orang-orang tetap memberi persembahan, meskipun harus berutang?

"Apakah ini seperti permainan lotre ketika kamu tidak punya uang?" Haustein bertanya balik.

"Ini adalah yang nampaknya terjangkau, karena kamu bisa pinjam ratusan shilling [mata uang Kenya] melalui telepon untuk berinvestasi, dan lihatlah apakah itu membantu.

"Tentu saja, ada rasa putus asa juga, itu bisa menjadi harapan terbaik terakhir yang dimiliki seseorang."

Kembali ke Kenya, Evaline mengatakan pengalamannya tidak akan membuatnya meninggalkan imannya.

"Saya tidak akan mengatakan bahwa gereja itu buruk. Gereja itu baik. Pendeta-pendeta lah yang salah. Mereka lah yang meminta uang."

Sumber: bbc

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA