GELORA.CO - Ketua MUI Cholil Nafis mengkritik rencana Mabes Polri yang akan memetakan masjid radikal. Saat menjawab pertanyaan dari Karni Ilyas di salah satu acara dia meminta Mabes Polri minta maaf atas niatan yang menurutnya salah tersebut.
“Saya harap minta maaf juga tuh Bang Karni. Apanya masih yang mau dipetakan? Masjid itu benda mati, nggak ada masjid radikal kecuali menggunakan filosofi,” kata Cholil Nafis seperti yang dikutip Hops.Id dari kanal Youtube Indonesia Lawyers Club pada selasa 8 Februari 2022.
Cholil Nafis mengatakan yang harusnya dipetakan adalah para penceramah di masjid-masijid.
“Kenapa nggak langsung yang kita petakan peceramah-penceramah di masjid,” jelasnya.
Menurutnya selama ini yang membuat masjid dianggap radikal karena para pengurus masjid mengundang penceramah yang berceramah dan mengajak kearah radikalisme.
“Karena masjid itu ada pengelolanya, namanya takmir masjid. Takmir itu diganti setiap periodik, banyak di BUMN itu yang diindikasikan adalah radikalisme disana ada, ganti takmirnya, diganti narasumbernya udah jadi baik,” tegasnya.
Menurutnya MUI sudah melakukan hal tersebut dengan melakukan standarisasi da’i. “Kami lakukan dari MUI dengan cara apa? Standarisasi da’i. Da’i-nya kita luruskan paham keagamaan islam wasati (lurus dan berada di tengah),” ujarnya.
Selain itu MUI juga mengajarkan kepada para da’i tersebut tentang hubungan agama Islam dengan kebangsaan NKRI yang menurut mereka sangat dekat dengan negara yang didirikan Rasullullah SAW dengan piagam madinahnya.
“Itu katanya professor doktor Thohir Azhari (NKRI) paling deket dengan negara yang dipimpin rasullulah. Bahkan di Pancasila sila persatuan Indonesia, disana ada persatuan seluruh anak bangsa, itu paling mirip,” imbuhnya.
“Nah, kita ajari mereka bagaimana negara pilihan NKRI itu adalah sangat-sangat islami. Kalau ada korupsi ya dia oknum kayak orang muslim maksiat, kan ada juga orang muslim berzina, orang muslim juga mencuri, orang muslim juga korupsi, apakah islamnya yang akan kita salahkan?”
Dia mencontohkan jika ada seseorang yang pernah menempuh pendidikan di pesantren, kemudian orang tersebut menjadi teroris, maka tidaklah benar jika pesantrennya kemudian dibakar.
”Sama seperti tadi pernah nyantri terus jadi teroris, masa pesantrennya yang dibakar? Nanti ada polisi kena teroris, jadi polisi dihabisin. Ini habis semua kalo stigma begitu,” tuturnya.
Cholil Nafis mengungkapkan jika pihaknya tak sepakat membeda-bedakan masjid dalam suatu golongan tertentu atas dasar penilaian terkait radikalisme. “Oleh karena itu kalau masjidnya nanti dipakai masjid ini ijo, masjid ini radikal, habis semua nanti. Tidak akan pernah ada masjid, digulung semua,” ujarnya.
“Karena nanti penceramahnya pindah-pindah dari masjid ini, ceramah besoknya disini (lain tempat), jadinya apa semua masjid radikal karena ngundang,” tarangnya.
Karena itu menurutnya yang harus diditeksi adalah para pengurus masjid dan para penceramahnya. “Makanya yang harus dideteksi itu adalah penceramahnya. Penceramah ini nggak boleh masuk. Banyak yang saya bilang, ‘Pak Kyai mau ngundang ini gimana? Jangan nanti itu malah memecah belah umat’. Banyak yang saya larang,” imbuhnya
Karena itu MUI melakukan standarisasi terhadap da’i. “Makanya kami standarisasi ada komitmen bagaimana dakwah yang wasati, ketika dia melanggar kita cabut dan kita umumkan jangan ngundang ustaz itu kita akan sanksi sosial,” jelasnya.
Hukuman hanya berupa sanksi sosial karena menurut Cholil Nafis, pemerintah tak bisa melakukan pelarangan bagi sesorang untuk berdakwah atau melarang masjid mengundang orang tertentu.
“Karena apa? Karena Indonesia nggak bisa melarang, beda dengan negara tetangga kita, yang itu dibiayai oleh negara disertifikasi oleh negara, jadi negara bisa mencabut kayak ASN,” jelasnya.
“Nah, ustaz-ustaz disini kan bikin masjid sendiri, bangun sendiri, ngisi (ceramah) sendiri, ngapain pemerintah ikut-ikut didalamnya, kecuali masjid-masjid negara, Istiqlal, Islamic Center boleh,” sambungnya.
Dia kembali menegaskan yang bisa dipetakan bukan masjidnya melainkan sumber daya manusianya.
“Yang saya pahami kalau kita berprasangka baik kepada Polri yang dipetakan adalah orang-orang yang ngisi di masjid dan takmir masjid yang seneng ngundang orang-orang yang bikin menyalahgunakan masjid, itu yang lebih tepat daripada masjidnya,” tandasnya.[]
Sumber: hops